Menanggapi Artikel "Guru Patut Disalahkan Telah Mengajari Murid Kencing Berlari?" tayang pada 11 April 2025.Â
Artikel tersebut terlalu menyederhanan proses pendidikan yang narasinya bias memunculkan sinisme negatif pada guru dan hanya menampilkan 'penghakiman' sepihak pada sosok guru walaupun semua pihak dapat diperankan sebagai guru tapi tidak dengan teman sebaya. Harusnya juga menampilkan narasi yang berimbang mengenai peran mulia dan beban berat diatas pundak guru yang dituntut gigih berjuang menjalankan proses pendidikan yang kebanyakan orang tua kewalahan mengatasi anak-anaknya sendiri. Kalau ada bagian dari perilaku guru yang tidak pantas itu terbatas pada oknum yang butuh pembinaan lebih lanjut guna meminimalisir narasi-narasi negatif yang menyudutkan peran guru. Sebaliknya atau setidaknya diperlukan narasi-narasi penyeimbang yang mengandung optimisme yang kuat dalam turut mendorong peningkatan prosesi pendidikan.
Adapun memaknai pribahasa "guru kencing berdiri, murid kencing berlari" janganlah ditelan mentah-mentah seolah-seolah guru sebagai pihak paling bertanggung jawab ketika ada murid yang 'kencing' sambil berlari dalam artian ketika timbul kenakalan anak lantas yang disalahkan guru. Pribahasa ini tidak cocok diobral ke publik, cukup di ranah pembinaan oleh yang kompeten dan tidak semua orang layak menggunakan pribahasa ini untuk menyudutkan profesi guru. Akibat salah memaknai atau menyikapi pelebelan pribahasa "guru kencing berdiri" ini sehingga guru jadi sasaran publik khususnya orang tua merasa pantas mempersalahkan guru. Terbukti tidak sedikit guru diadukan kepada pihak aparat hukum atau dibully atau bahkan dipersekusi gara-gara mendisiplinkan anak didiknya dalam rangka pendidikan supaya misalkan jangan sampai kencing sambil berdiri apalagi sambil berlari atau perilaku lain yang membutuhkan ekstra disipliner.Â
Ada pribahasa yang santun dan sangat mendidik untuk mendorong guru untuk benar-benar menjadi pendidik, seperti pribahasa "buah jatuh tidak jauh dari pohonnya" pribahasa ini dapat menyasar penyikapan pada prilaku anak baik yang positif atau negatif dan dapat diperankan secara langsung oleh dua pihak orang tua dan guru sekaligus menampilkan nilai-nilai optimisme bagi pendidikan bukan sinisme seperti pribahasa sebelumnya. Banyak kata-kata atau pribahasa lain yang lebih bijak untuk keseimbangan narasi sinisme pada guru mengingatkan betapa pentingnya peran guru yang memang harus menjadi sosok yang digugu dan ditiru tanpa memplesetkan dengan kata lain yang tidak disadari ikut andil mengkerdilan peran guru. Untaian kata-kata lain yang tak kalah bijak untuk digunakan seperti "lidah perbuatan lebih fasih dari lidah perkataan", "Guru adalah orang tua bagi ruhanimu sedang ayah ibu orang tua bagi jasmanimu", "Kau jadi apa saja karena bimbingan guru", "guru merupakan pelita kehidupan" dan seterusnya. Guru perlu terus disupport untuk menampilkan peran-peran mulia dan tetap gigih berjuang tanpa batas pamrih dalam mengemban tugas mendidik bahwa mendidik anak berarti mendidik bangsa ini dan memajukan pendidikan anak memajukan bangsa ini bahkan memajukan dunia ini. Yakinlah  saat guru memperoleh dukungan yang penuh optimis dan konstruktif, dengan sendirinya para guru akan merasa malu bahkan merasa hina kalau tidak menjadi suri tauladan yang baik bagi anak didiknya disamping orang tua dan masyarakat lingkungan tidak lepas tangan dari tanggung jawab pendidikan. Ibarat anak didik sebagai kendaraan dengan roda empat, hendaknya keempat roda itu mesti berjalan seiring saling menguatkan dan kompak mendukung satu sama lain untuk arah tujuan yang sama, maka disitulah peran orang tua, masyarakat, aparatur pendidikan, serta lingkungan dan tugas guru menyupiri kendaraan tersebut agar berjalan tepat dan sampai tujuan.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI