Para pelayat memenuhi rumahku, wajah-wajah sedih nampak jelas terlihat. Kupandangi suami yang sedang mengelus kepala Fabian, anak lelakiku yang berumur 10 tahun. Sesekali dia menyeka air di sudut matanya yang hampir jatuh. Kesedihan juga terlihat pada Anida anak perempuanku yang masih 6 tahun.Â
Biarpun usia masih belia, dia paham akan kematian --suatu hari dia pernah bertanya, aku jelaskan dengan kata-kata yang bisa dimengerti anak seusianya.Â
Kematian itu perpisahan Nak, berpisah untuk selamanya, perpisahan di dunia. Tapi tenanglah Nak, Alloh akan mempertemukan hambaNYA yang taat suatu saatnya nanti di surga. Juga berbagai penjelasan karena pertanyaan yang tak kunjung berhenti--
Setelah jenazah di sholatkan sesuai agama kami, kemudian keranda di angkat beberapa kerabat dan tetangga. Banyak tetangga juga saudara yang mengantarkan sampai ke pemakaman. Aku mengikuti langkah kerabatku yang menggandeng tangan Anida. Suamiku berjalan di depan bersama anak lelakiku dan kerabat yang lain.Â
Sepanjang jalan menuju makam, nampak orang-orang dengan wajah iba memandang ke arah kami.Â
Sesampainya di makam, jenazah dimasukkan ke dalam lobang kubur yang telah di persiapkan sebelumnya.Â
Prosesi pemakaman berjalan lancar. Wajah-wajah sedih masih menyelimuti semua yang hadir di pemakaman.
***
Senja mulai beranjak perlahan, petang mulai menggantikan perannya. Beberapa kerabatku sudah meninggalkan rumah kami, pulang ke kotanya masing-masing. Hanya tinggal Ibuku, kakak perempuanku sekeluarga yang masih tinggal di rumahku. Suasana jadi tak terlalu sepi.Â
Saat malam tiba, ku ikuti langkah Fabian juga suamiku yang menggendong Anida menuju kamar.Â