Mohon tunggu...
Yuni Candra
Yuni Candra Mohon Tunggu... Dosen

Akademisi, Pengamat, Trainer, Penulis, dan Peneliti

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Masyarakat dan Kearifan Lokal: Kunci Pembangunan Berkelanjutan di Indonesia

4 September 2025   23:15 Diperbarui: 4 September 2025   23:38 21
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Indonesia sering disebut sebagai negeri kaya sumber daya alam. Namun, kekayaan itu ternyata menjadi pedang bermata dua. Pertumbuhan ekonomi yang gencar sering menimbulkan degradasi lingkungan, konflik lahan, dan marginalisasi masyarakat lokal. Laporan Global Forest Watch mencatat bahwa Indonesia kehilangan lebih dari 10 juta hektare hutan primer basah antara 2002-2024. Dampaknya nyata: masyarakat adat kehilangan ruang hidup, risiko banjir meningkat, dan keanekaragaman hayati merosot drastis.

Di tengah kondisi itu, muncul pertanyaan penting: apakah pembangunan harus selalu mengorbankan alam dan masyarakat? Jawabannya ternyata ada, dan kuncinya adalah partisipasi masyarakat dan kearifan lokal.

Masyarakat, bukan sekadar penonton

Pembangunan berkelanjutan bukan sekadar jargon. Ia menekankan keseimbangan antara ekonomi, lingkungan, dan keadilan sosial. Data Konsorsium Pembaruan Agraria menunjukkan bahwa pada 2022 terjadi 212 konflik agraria seluas lebih dari 1 juta hektare, mempengaruhi lebih dari 346.000 kepala keluarga. Konflik ini mengingatkan kita bahwa pembangunan tanpa suara masyarakat berpotensi menimbulkan ketidakadilan struktural.

Keterlibatan masyarakat bukan formalitas. Model Ladder of Citizen Participation menjelaskan bahwa idealnya masyarakat bukan hanya memberi saran, tetapi memiliki kemitraan penuh hingga kontrol atas keputusan pembangunan. Dengan kata lain, mereka menentukan arah pembangunan sesuai kondisi sosial, budaya, dan ekologis lokal.

Kearifan lokal: warisan yang relevan untuk masa kini

Indonesia memiliki harta karun pengetahuan tradisional. Sistem subak di Bali, misalnya, mengatur irigasi sawah berbasis filosofi Tri Hita Karana - harmoni manusia, alam, dan Tuhan. Subak tidak hanya efisien secara teknis, tetapi juga menjaga ekosistem dan memperkuat solidaritas sosial. UNESCO menobatkannya sebagai warisan budaya dunia pada 2012.

Di Maluku, masyarakat menerapkan sasi, aturan adat yang membatasi penangkapan ikan untuk memberi waktu pemulihan ekosistem laut. Studi menunjukkan wilayah yang menerapkan sasi memiliki keanekaragaman hayati laut lebih tinggi dibandingkan wilayah tanpa aturan (Ovando et al., 2021).

Di Banten, masyarakat Baduy mempertahankan hutan larangan (leuweung kolot), menjaga hutan tetap hijau, berfungsi sebagai penyangga ekosistem, sekaligus melindungi identitas budaya. Di Kalimantan, masyarakat Dayak menerapkan ladang berpindah dengan pola tertentu untuk menjaga kesuburan tanah sekaligus mencegah deforestasi.

Kearifan lokal bukan sekadar adat lama, tapi instrumen adaptif menghadapi perubahan lingkungan, sekaligus modal sosial. Gotong royong, musyawarah, dan solidaritas memperkuat kohesi masyarakat, memudahkan koordinasi, dan meningkatkan ketahanan terhadap tekanan global, termasuk perubahan iklim dan degradasi lingkungan.

Green Economy: Ketika masyarakat menjadi penggerak utama

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun