filsafat beliau, di harian Kompas. Pada hari Kamis Wage, 28 Mei 2020 (bertepatan dengan 5 Syawal 1441 H) doktor Yudi Latif menulis sebuah artikel berjudul "Lebaran Pengorbanan".
Judul selengkapnya artikel ini adalah Perlunya Bung Yudi Latif Membedakan Antara kata "Korban" dengan kata "Qurban". Tulisan ini sebagai upaya mengkritisi opini pakar aliansi kebangsaan bung Yudi Latief melalui telaahInti dari tulisan beliau adalah bahwasanya lebaran kali ini sangat berbeda dengan lebaran tahun-tahun sebelumnya. Lebaran kali ini harus banyak berkorban. Namun berkorban itu bisa jadi upaya yang memungkinkan manusia kembali ke fitrah kebahagiaan.
Mengutip Viktor Frankl, bung Yudi Latif menyatakan bahwa kebahagiaan tertinggi itu terengkuh dalam keberanian untuk menghadapi kenyataan dengan segala pahit getirnya. Frankl percaya pada kehendak untuk menemukan makna (the will to meaning) --lewat kemampuan berdamai dengan kenyataan dan pengorbanan untuk menjadi lebih besar daripada diri sendiri- merupakan sumber kebahagiaan tertinggi.
Ada contoh unik yang dikembangkan mister Yudi Latif tatkala beliau mengutip perkataan asisten rumah tangganya. Si asisten rumah tangga itu berkata, "Tuan bisa menikmati berbagai macam kebahagiaan sepanjang tahun, sedang kebahagian saya cuma sekali setahun, yaitu mudik lebaran. Apakah kebahagiaan satu-satunya itu pun harus saya korbankan?".
Membaca kalimat seorang ART tersebut saya jadi inget komentar (Alm.) Darmanto Jatman terhadap buku "Pengakuan Pariyem" Â karya Linus Suryadi Agustinus. Kurang lebih kata pengantar dari Darmanto Jatman, "Itu seorang Pariyem dengan pendidikan sederhana tapi bahasanya bisa ndakik ndakik kayak gitu .....". Logika saya sama dengan Darmanto Jatman, demikian pula ke ART versi Bung Yudi Latif. Tapi siapa tahu, ART itu lulusan diploma. Jadi wajar bahasanya puitis.
Terkait pengorbanan, kata "korban" itu asal katanya dari bahasa Arab yaitu "qurban", yang berawal dari kata taqorub. Kurang lebih berarti "mendekat" atau mendekat kepada Tuhan yang Maha Esa. Kalau dalam lagu Ebiet G. Ade "cinta memang harus berkorban". Jadi untuk menguji keseriusan upaya seseorang (katakanlah dalam menyintai seseorang) dia harus mau berkorban.
Korban harta misalnya, dan korban waktu tentu saja. Waktu dalam memberi perhatian ke seseorang. Qurban itu sendiri merupakan ibadah puncak dalam kalender hijriyyah. Setelah puasa dalam bulan Ramadhan, kemudian bulan Syawal yang berarti meningkat, dua bulan kemudian ibadah qurban, dan dua puluh hari kemudian tahun baru Islam.
Tulisan bung Yudi Latif memang tampak ideal. Tapi realita mengatakan tidak demikian. Misalnya terkait sorga dan neraka. Pengennya kan sorga sudah termanifestasi di muka bumi. Padahal, sorga neraka di dunia hanya seperti membalik telapak tangan. Hari ini menyenangkan (sorga), besuk menyedihkan (neraka). Bahkan bisa dalam hitungan jam, atau malah menit., juga detik.
Seperti dipampangkan cerita film dalam bioskop. Momen saat menangis atau ketawa hanya dalam hitungan menit. Mengutip pernyataan Prof Gunawan Sumodiningrat (FEB UGM), bahwa sorga di dunia itu terjadi ketika hasil sesudi dengan perencanaan .
Artinya tidak ada yang ideal di dunia ini.
Bung Yudi Latif memberi analogi tentang peran pemerintah. Yaitu untuk menciptakan sorga di dunia dengan memulihkan kebahagiaan rakyatnya.