Mohon tunggu...
Yunia Kusminarsih
Yunia Kusminarsih Mohon Tunggu... Guru - Guru di Sekola Menengah dan Dosen di Perguruan Tinggi Swasta

Dengan menulis kita abadi

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Kenangan Bersama Guru Idola

27 November 2020   00:10 Diperbarui: 27 November 2020   00:29 131
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Ayahku seorang guru. Waktu SD aku sekolah di SD yang dirintis oleh ayahku dan kawan-kawannya. Salah satu guruku di sekolah ya ayahku. Dia lah guru idolaku.

Saat itu sudah terbesit dalam benakku, aku ingin seperti ayahku,  menjadi guru.  Rasanya senang ketika melihat ayahku mengajar dengan penuh kesabaran dan ketelatenan, yang tidak mudah marah, yang tidak mudah menghukum ketika ada muridnya yang membuat ulah, yang tak pilih kasih.

Pernah suatu hari, ketika jam istirahat aku pergi bersama teman-temanku mencari buah asam yang berjatuhan. Di tengah perjalanan menuju ke sekolah, kami melihat kebun jeruk milik kerabat guru ngajiku. 

Lalu salah satu dari teman mengajak kami untuk mengambil jeruk yang sudah menguning, memang menggiurkan hati untuk dipetik.  Aku menolaknya karena aku tahu mengambil barang tidak seizin yang punya sama dengan mencuri. 

Itulah salah satu yang diajarkan oleh guru Agamaku di SD Bapak Buryadi. Aku mengatakan kepada mereka bahwa sudah waktunya belajar lagi. Maka aku menyuruh mereka untuk segera kembali ke sekolah. Namun mereka tetap saja memetik beberapa buah jeruk yang bergelantungan sampai kami tiba terlambat di sekolah.

Di kelas sudah mulai belajar. Saat itu waktunya ayahku yang mengajar. Melihat kami datang terlambat, dan ditanya mengapa terlambat. Kami pun mendapat hukuman, tak terkecuali aku. Walaupun aku sudah menyampaikan bahwa aku sudah memperingatinya dan aku tidak mengambil buah jeruk seperti yang mereka lakukan. Namun aku tetap juga mendapat hukuman. Saat itu aku merasa ayahku  tidak berbuat adil padaku.

Sampai di rumah aku protes pada ayahku, "mengapa aku ikut dihukum juga?" kan aku tidak ikut mengambil buah itu?"

Dengan perlahan  ayahku menjelaskan hingga aku memahaminya. 

Apa yang dilakukan ayahku itu adalah bentuk keadilan. Walaupun aku anaknya, dia tidak mau pilih kasih. Aku tetap bersalah karena datang ke kelas terlambat dan membersamai mereka melakukan 'kenakalan' walaupun aku tidak melakukannya.

Sesudah lulus SD, aku melanjutkan ke SMP di kota lain (DIY). Ayahku menitipkan aku ke pamanku yang juga seorang guru istrinya pun seorang guru. 

Setiap hari aku melihat aktivitas mereka yang tentram. Pagi sampai siang hari mengajar di sekolah,  sore harinya mengajar ngaji anak-anak di sekitar rumahnya.  Kehidupan mereka sangat harmonis dan tentram. Tetapi aku tidak lama bersama mereka, hanya satu tahun. Tahun kedua aku dipindah oleh ayahku berkumpul kembali di salah satu  kota di Jawa Timur di mana ayahku pindah tugas mengajar.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun