Era berubah. Transaksi kas berpindah ke QRIS, pengeluaran bulanan lewat e-wallet, bahkan gaji honorer kini dikirim melalaui platform keuangan digital. Perubahan transformasi satu hal permanen menjadi tulang punggung negara: penerimaan. Pajak serta penerimaan negara lainnya adalah penggerak pembangunan nasional yang berkelanjutan. Namun di era di gital, penerimaan tersebut tak lagi bersumber dari sektor konvensional, algoritma, transaksi lintas negara, dan konsumsi yang tak terdeteksi kasat mata. Di sinilah letak data dideteksi mengambil peran sentral. Karena uang bergerak digital, maka data pun bicara lantang.
Digitalisasi membuka warna baru bagi fiskal Indonesia. Walaupun menghadirkan sosok tantangan besar : sektor informal yang tak tercatat, perusahaan global beroperasi bagaikan tinggal di rumah sendiri, jenis transaksi digital terbaru, game online, dan aset kripto. Di satu sisi lain, digitalisasi memberikan peluang: otomatisasi pelaporan pajak, transparansi, dan integrasi data lintas sektor.
Bukti empiris terlihat dalam pertumbuhan Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PMSE). Dari data Asosiasi E-Commerce Indonesia, nilai transaksi mencapai ratusan triliun rupiah per tahun. Namun tidak ada kehadiran kontribusi nyata pada penerimaan negara yang setara. Dalam kasus lain, penyedia jasa digital asing contohnya Netflix, Spotify, dan layanan Cloud dengan keuntungan besar tanpa harus membayar pajak sepadan.
Data jadi Senjata Kebijakan
Data bukanlah angka, ia adalah profil perilaku, peta aliran ekonomi serta evaluasi kepatuhan fiskal, Indonesia mulai menyadari pentingnya peran data melalui integrasi penetapan sistem perpajakan seperti e-Faktur, e-Bupot, DJP Online, dan pelaporan secara daring. Dengan tujuan membentuk ekosistem fiskal digital yang bijak dan adaptif. Teknologi big data dan machine learning memudahkan Ditjen Pajak untuk melacak transaksi mencurigakan, mendeteksi penolakan pajak dan cegah regulasi, menyusun profil pajak secara prediktif, dan penyesuaian kebijakan fiskal mengikuti dampak aktualnya. Data platform ride-hailing, e-commerce, dan digital bangking mulai di sinergikan dengan akurasi data pajak, menciptakan jaringan informasi yang valid dan efesien.
Skema Kebijakan Terpadu
Pemerintah Indonesia tak berdiam diri, terdapat terobosan kebijakan terus digulirkan:
1. PNN atas PMSE
Semenjak 2020, Indonesia penetapkan Pajak Pertambahan Nilai Atas Penyedia Jasa digital asing. Ini langkah awal progresif menuju terbangunnya keadilan fiskal yang merata, meskipun berbalut tantangan tersendiri.
2. Integrasi Digital dan Rupiah Digital
Pengembangan "Digital Rupiah" yang dilaksanakan oleh Bank Indonesia sebagai bagian Central Bank Digital Currency (CBDC). Menjadikan fasilitas pembayaran sekaligus pencatatan transaksi yang terekam langsung bagaikan CCTV pada sistem keuangan nasional.
3. Kolaborasi Internasional: OECD/G20 BEPS
Sebagai anggota dalam upaya global mencegah penghindaran pajak oleh perusahaan multinasional melalai skema digital. Indonesia meluncurkan langkah baru dalam strategis mengembangkan ekonomi digital tanpa batas
4. Target yang Ambisius
Pemerintah menargetkan pemasukan negara sebesar Rp.2.802,3 triliun pada tahun 2025. Angka ini hanya melambangkan aspirasi pemerintah saja, tetapi terdapat ketergantungan di sektor digital yang semakin berkuasa.
Tantangan dan Solusi
Transformasi besar tanpa tantangan itu tidak mungkin. Beberapa di antaranya
Kesenjangan Literasi Digital
Banyak masyarakat dan para Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) belum memahami skema kewajiban paja di era digital, padahal mereka anggota yang sangat penting dalam ekosistem penerimaan baru.
Regulasi yang Tertinggal
Teknologi bergerak cepat dan sangat strategis dibandingkan peraturan. Indonesia memerlukan regulasi yang adaptif menggunakan prinsip-prinsip pajak berbasis substansi, bukan sekedar bentuk usaha nyata.
Privasi dan Keamanan Data
Perlindungan data bagi wajib pajak menjadi isu sensitif. Transparansi publik terhadap sistem digital harus terlindungi ketat dengan tata kelola yang akuntabel. Apabila suatu masyarakat percaya bahwa data mereka aman, maka akan menciptakan kepatuhan dan partisipasi aktif dalam ekosistem fiskal.
Solusinya? Bergandengan tangan bersama pemerintah dan swasta dengan cara edukasi digital pajak dalam program inklusif yang bisa dijangkau UMKM, Pelajar, dan pekerja digital, kemitraan antara perusahaan teknologi lokal dan asing dalam pelaporan serta pemungutan pajak, dan mempercepat penyesuaian regulasi hukum seiring evolusi teknologi.
Pada ujungnya, penerimaan negara bukan semata-mata jumlah uang yang diperoleh, ia adalah investasi dari keadilan sosial, pembangunan berkelanjutan dan partisipasi sebagai kewajiban warga negara. Ketika masyarakat menyelidiki bahwa pajak adil, transparan, dan modern itu ada di negara Indonesia, kepatuhan itu akan tumbuh sendiri. Transformasi digital menjadi jembatan emas untuk menghimpun lebih banyak dana, tetapi untuk membangun negara yang responsif, komprehensif, dan siap menghadapi masa depan.
Kita tidak bisa lagi memandang penerimaan negara sebagai gerakan moto sepihak dari pemerintah, era digital menuntut aktif masyarakat, perusahaan, akademisi, dan platform digital untuk menyusuri peta jalan fiskal Indonesia. Pajak merupakan sarana yang sangat cenderung untuk pembangunan berkelanjutan dan jadi solusi dalam permasalahan di negara Indonesia baik itu kemiskinan, pengangguran, pendidikan, kesehatan, ekonomi hijau, fasilitas publik dan sebagainya. Dengan penerimaan pajak yang lurus memberikan kehidupan seekor tikus akan mati dalam mencari uang pajak, namun akan memberikan jalan keluar bagi kesengsaraan hidup di Indonesia, data adalah kompasnya.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI