Mohon tunggu...
Yunas Dwiyanto
Yunas Dwiyanto Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Healthy

Review tentang Iklan Rokok di Media Penyiaran Tidak Melindungi Anak dan Remaja

14 September 2017   22:36 Diperbarui: 14 September 2017   23:02 2762
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kesehatan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Schantalao

Review Jurnal

REGULASI TENTANG IKLAN ROKOK DI MEDIA PENYIARAN

TIDAK MELINDUNGI ANAK DAN REMAJA

Abstrak:

               Diantara berbagai iklan, iklan rokok merupakan iklan yang paling controversial. Iklan rokok sudah menjadi perdebatan yang lama khususnya di Indonesia Data WHO (2013) menunjukkan 144 negara telah melarang iklan rokok di media penyiaran. Di asean semua negara sudah melarang iklan rokok untuk tayang kecuali Indonesia aturan di Indonesia membolehkan iklan rokok untuk tayang dengan pembatasan-pembatasan yang ada. Kebijakan yang dianalisis adalah peraturan-peraturan penyiaran, catatan rapat penyusunan UU Penyiaran dari 1997 sampai 2014 yang terkait dengan iklan rokok, dan peraturan pemerintah tentang iklan rokok di media penyiaran. Studi dilakukan dengan pendekatan kualitatif menggunakan studi pustaka dan komparasi kebijakan.

 Hasil studi ini menunjukkan bagaimana selama ini kebijakan iklan rokok di media penyiaran masih berpihak pada kepentingan industry rokok dan media, bukan pada kesehatan masyarakat, khususnya untuk melindungi kepentingan anak dan remaja yang selama ini menjadi target utama iklan dan promosi rokok. Media penyiaran memilih untuk mendapatkan iklan dari industri rokok yang mencapai trilyunan rupiah setiap tahunnya.


Dasar Keprihatinan

            Banyak negara di dunia telah melarang iklan rokok di media penyiaran karena iklan di media penyiaran (khususnya TV) adalah yang paling dianggap berpengaruh kepada khalayak. Iklan TV adalah yang paling potensial mempengaruhi kaum muda untuk mengenal dan kemudian mencoba rokok .

            Regulasi ketat mengenai iklan rokok di berbagai negara dilakukan terutama karena alasan bahwa rokok adalah produk berbahaya dan adiktif. Rokok mengandung 4.000 zat kimia, 69 di antaranya adalah karsinogenik (pencetus kanker). Zat berbahaya yang terkandung dalam rokok antara lain tar, sianida, arsen, formalin, karbon monoksida, dan nitrosamin.iv Konsumsi tembakau membunuh 1 orang setiap 10 detik.

 Tujuan Studi

           Studi ini bertujuan membandingkan kebijakan iklan rokok yang ada di Indonesia dengan Framework Convention on Tobacco Control (FCTC) yang telah diaksesi oleh seluruh negara Asia kecuali Indonesia. Kebijakan yang dianalisis adalah peraturanperaturan penyiaran, catatan rapat penyusunan UU Penyiaran dari 1997 sampai 2014 yang terkait dengan iklan rokok, dan peraturan pemerintah tentang iklan rokok di media penyiaran, serta draf revisi UU Penyiaran yang sedang berjalan (2016 -- pertengahan 2017).

            Studi ini paling tidak memiliki dua arti penting. Pertama, regulasi di bidang penyiaran menjadi hal yang penting dibahas mengingat media penyiaran adalah media yang menggunakan domain publik, hingga pengaturannya penting untuk dikaji mengingat dampaknya yang besar bagi publik. Kedua, anak dan remaja menjadi kelompok yang harus mendapat perlindungan dalam kebijakan media, namun kebijakan mengenai iklan rokok selama ini tidak memperlihatkan semangat perlindungan tersebut. Sejarah regulasi penyiaran di Indonesia menawarkan gambaran yang kompleks.

            Kajian yang menunjukkan gambaran tentang tidak terlindunginya anak dan remaja dari iklan rokok baik dalam proses penyusunan regulasi maupun produk perundangan penting agar warga negara dan organisasi masyarakat dapat secara strategis menjalankan hak-haknya atas media dan pada akhirnya, akan mengarah ke perubahan dalam masyarakat.

Kerangka Berpikir

Iklan Rokok Bagi Kaum Muda

           Riset menunjukkan iklan rokok merupakan kontributor penting bagi kebiasaan merokok di kalangan anak muda. Nicola Evans dkk (1995) menemukan bahwa terpaan kaum muda terhadap iklan rokok jauh lebih memiliki efek untuk menyebabkan perilaku merokok daripada pengaruh anggota keluarga atau teman yang merokok. Sebuah kajian dari sembilan penelitian pada tahun 2003 yang melibatkan lebih dari 12.000 anak menyimpulkan bahwa iklan dan promosi produk tembakau meningkatkan peluang anak untuk mulai merokok. 

Iklan rokok bekerja dengan mempengaruhi persepsi remaja dengan citra yang berasosiasi dengan merokok. Iklan rokok adalah iklan yang membawa pesan subliminal. menyatakan subliminal adalah pesan atau stimulus yang dicerap oleh persepsi dan alam otak bawah sadar, yang diterima melalui medium gambar yang diulang-ulang. stimulus ini cepat melintas sebelum individu dapat memprosesnya. Pesan-pesan subliminal ini perlahan-lahan akan mempengaruhi dan mengubah pikiran sadar dari otak

Framework Convention on Tobacco Control (FCTC)

           Tujuan FCTC adalah untuk "melindungi generasi sekarang dan mendatang dari kerusakan kesehatan, sosial, dan lingkungan dan konsekuensi ekonomi dari konsumsi tembakau serta paparan terhadap asap tembakau.

            Salah satu ketentuan yang termuat dalam FCTC (Pasal 13) adalah pelarangan total iklan, promosi, dan sponsor rokok. FCTC mensyaratkan anggota melaksanakan larangan total terhadap segala jenis iklan, pemberian sponsor, dan promosi produkproduk tembakau, baik secara langsung maupun tidak langsung, dalam kurun waktu 5 tahun setelah meratifikasi Konvensi.

Metode Penelitian

                Studi ini akan menggunakan pendekatan kualitatif Peneliti mempelajari peraturan-peraturan penyiaran, catatan rapat penyusunan UU, dan pemberitaan media tentang regulasi iklan rokok.

Temuan Penelitian

           UU Nomor 24/1997 adalah UU Penyiaran pertama di Indonesia. Sejak awal proses kelahirannya, UU ini sudah sarat masalah. Yang penting disebut dari UU No. 24/1997 adalah UU ini dinilai otoriter. Kendali pemerintah tampak sangat kuat tecermin dalam sejumlah pasalnya. Dalam UU ini pemerintah menegaskan dirinya sebagai pembina dan pengendali penyiaran.

            UU 24/1997 mengatur mengenai iklan rokok, namun dalam aturan yang dapat diperdebatkan karena tidak tegas melarang iklan rokok. Ketentuan ini dimuat dalam Pasal 42 ayat 2 huruf C, yakni: "Siaran iklan niaga dilarang memuat iklan minuman keras dan sejenisnya, bahan/zat adiktif serta iklan yang menggambarkan penggunaan rokok.

Bukan larangan tapi pembatasan dalam UU Penyiaran 2002

            perlunya pembatasan iklan rokok, bukan pelarangan. Yang dirujuk adalah adanya PP No 30/2000 yang merupakan Perubahan Atas PP No 81/1999 tentang Pengamanan Rokok Bagi Kesehatan. PP ini membolehkan iklan rokok di media penyiaran.

            UU Penyiaran akhirnya membolehkan iklan rokok dengan pembatasan: iklan tidak boleh menampilklan wujud rokok. Aturan tentang larangan wujud rokok ini tampaknya diinspirasikan oleh ketentuan dalam UU Pers (UU 40/1999). UU Pers Pasal 13 ayat c menetapkan: Perusahaan iklan dilarang memuat iklan yang menampilkan peragaan wujud rokok dan atau penggunaan rokok dan disepakati bahwa ketentuan dalam UU Penyiaran mengenai iklan rokok adalah: siaran iklan niaga dilarang melakukan promosi yang memperagakan ujud rokok.

            Akhirnya UU Penyiaran disahkan pada 28 Desember 2002. Ketentuan mengenai iklan rokok diatur dalam Pasal 46 ayat (3) huruf c: Siaran iklan niaga dilarang melakukan promosi rokok yang memperagakan wujud rokok. Pasal 58 UU ini menyatakan bahwa pelanggaran terhadap pasal tersebut diberikan sanksi: Dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan/atau denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) untuk penyiaran radio dan dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan/atau denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) untuk penyiaran televisi.

Peraturan Pemerintah dari perspektif kesehatan

           Iklan rokok di media penyiaran antara lain diatur dalam PP Nomor 19 Tahun 2003 tentang Pengamanan Rokok Bagi Kesehatan. Pada PP ini diatur bahwa iklan rokok pada media elektronik hanya dapat dilakukan pada pukul 21.30 sampai dengan pukul 05.00 waktu setempat.

            Pengaturan tentang jam siaran iklan rokok mulai pukul 21.30 sampai dengan pukul 05.00 waktu setempat juga kemudian diatur dalam beberapa PP penyiaran, yakni PP 11/2005 (tentang penyelenggaraan lembaga penyiaran publik) dan PP 50/2005 (tentang penyelenggaraan lembaga penyiaran swasta). PP Nomor 19 Tahun 2003 ini juga berisi ketentuan tentang beberapa hal yang

dilarang dalam materi iklan rokok, yakni:

a. merangsang atau menyarankan orang untuk merokok;

b. menggambarkan atau menyarankan bahwa merokok memberikan manfaat bagi

kesehatan;

c. memperagakan atau menggambarkan dalam bentuk gambar, tulisan atau

gabungan keduanya, bungkus rokok, rokok atau orang sedang merokok atau

mengarah pada orang yang sedang merokok;

d. ditujukan terhadap atau menampilkan dalam bentuk gambar atau tulisan atau

gabungan keduanya, anak, remaja, atau wanita hamil;

e. mencantumkan nama produk yang bersangkutan adalah rokok;

f. bertentangan dengan norma yang berlaku dalam masyarakat

"Pertarungan" dalam Revisi UU Penyiaran yang Sedang Berjalan (2015 --

Pertengahan 2017)

                Kalangan industri penyiaran TV menginginkan iklan rokok diatur seperti ketentuan yang ada pada UU 32/2002 (tidak ada pelarangan terhadap iklan rokok). Asosiasi Televisi Swasta Indonesia (ATVSI) mengajukan tujuh hal pokok yang paling krusial yang mereka ajukan bagi RUU Penyiaran, salah satunya adalah tetap dibolehkannya iklan rokok. Begitu juga kalangan industri rokok meminta hal yang sejalan dengan kalangan industri media penyiaran. Kalangan industri rokok dan industry TV meyakini bahwa bila DPR dan pemerintah menyepakati pasal pelarangan iklan rokok, bisnis dua pelaku usaha tersebut bakal terpukul. Alasannya semata-mata ekonomi.

            Hingga akhir Juli 2017 masih berlangsung pembahasan antara Komisi 1 dan Baleg tentang RUU Penyiaran. Dalam beberapa kali pernyataan yang diliput media, pihak Baleg (dengan juru bicara Wakil Ketua Baleg Firman Soebagyo) terlihat menunjukkan sikap yang mempertahankan ketentuan pembatasan iklan rokok dan sebaliknya menolak pelarangan iklan rokok

Kesimpulan

           "Media belum ramah kepada anak. Lebih ramah kepada pemasang iklan". bahwa stimulus iklan rokok memiliki peran paling besar daripada lingkungannya. Media penyiaran tampak mengesampingkan dampak iklan rokok bagi kalangan muda. Padahal, rokok telah menjadi pembunuh manusia paling efektif dan massal yang ironisnya dilegalkan oleh negara.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun