Mohon tunggu...
Yuna Kadarisman
Yuna Kadarisman Mohon Tunggu... Guru -

....is still working to be a teacher

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Hidup di Victoria, Australia (4)

5 November 2016   09:36 Diperbarui: 5 November 2016   09:53 328
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ketika suami saya bekerja di pabrik Pizza, dia masuk sebagai casual worker. Gajinya lumayan banget, $21 per jam. Worker di Australia digaji seminggu sekali. Setiap hari Rabu atau Kamis. Lumayan kan? Tapi, 6 minggu kemudian status dia berubah menjadi full-time worker. Kali ini dibayar $19 per jam. Masih tetap lumayan sebenarnya, dibandingkan di Indonesia. Tapi tidak terasa ada perubahan apapun pada workload atau tanggung jawab pekerjaannya, selain gaji yang turun jumlahnya. Kalau menurut anda, mana yang lebih menguntungkan?

Setelah pabrik ini, kami berdua memutuskan untuk bekerja di sektor yang cukup terkenal di Australia. Di perkebunan apel. It was such an experience. 

Bekerja di perkebunan itu jadi banyak pilihan kebanyakan backpacker yang berkunjung ke Australia. Selain karena pekerjaannya ada sepanjang tahun, gaji yang didapatkan juga lumayan. Waktu itu kami bekerja menjarangkan buah apel. Jadi pohon apel di Australia itu ada yang setinggi 3 meter dengan buah yang sangat lebat. Oleh karenanya, buahnya dijarangkan supaya buah bisa besar maksimal. Kami dibayar tergantung pada banyaknya jumlah pohon yang kami selesaikan. Satu baris pohon biasa dibagi menjadi 10-12 petak yang terdiri dari 10 pohon. Satu baris bisa berharga $30-$35. Jadi, satu baris ada 100-120 pohon. Diawal-awal bekerja, saya paling hanya bisa 3-4 baris sehari. Wih...kalau diingat2..banyak juga ya...Kerjanya dari jam 7 pagi sampai jam 2 siang saja. Kita berhenti saat waktunya pohon disiram. Selain itu, karena waktu itu musim panas, akan sangat membahayakan kalau kita berada di terik matahari terlalu lama. Kerja di perkebunan sangat mengandalkan fisik. Tampaknya sih sepele, ngrontokin apel muda. Tapi lakukan untuk 500-700 pohon. Capek juga. 

Saya hanya bertahan seminggu. Baru saat itu saya tahu bahwa lelahnya kerja fisik bisa menghentikan kerja kreatif otak saya. 

Beberapa saat kemudian saya membaca bahwa bekerja diperkebunan itu dianggap sebagai bentuk perbudakan di Australia. Selain karena gajinya (dianggap) sangat kecil, kebanyakan pekerjanya adalah imigran gelap yang tinggal secara illegal di Australia. Jadi mereka tidak memiliki bargaining position pada pekerjaan itu. Pada saat saya mulai bekerja tahun 2015, baru saja dilakukan pembaharuan peraturan. Setiap pekerja haru memiliki kartu khusus yang disediakan oleh semacam PJTKI (PJTKA kalau di Australia, berarti ya). Dan untuk memiliki kartu ini, pekerja harus memiliki visa yang sesuai, visa turis tidak lagi diterima.

Sebelum bekerja di perkebunan apel, saya juga pernah bekerja sebagai cleaning service di rumah2 pribadi. Saya menganggap pekerjaan ini sebagai kelas untuk belajar bagaimana membersihkan rumah dengan lebih efisien dan lebih baik. Saya belajar zat2 kimia khusus untuk membersihkan area khusus. Saya belajar cara melap kaca yang lebih efisien dan lebih baik, sampai cara mengganti seprei beserta set tempat tidur seperti yang ada di hotel2. It was very exciting. Gajinya sama seperti pekerja casual. dari $19-$23 kalau sudah mahir. Dan saya sangat menikmatinya, sebenarnya. Sayangnya saya harus kembali ke Indonesia untuk sebuah program pengembangan profesi. 

Setelah ini, saya akan bercerita tentang pekerjaan dengan bayaran yang lebih tinggi, lebih tinggi dari kelas buruh pabrik lah. Oh juga satu pekerjaan yang cukup populer dikalangan mahasiswa, ngantar catalog iklan.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun