Mohon tunggu...
Yulius Sugiarto
Yulius Sugiarto Mohon Tunggu... -

Roland Barthes: "Gila aku tidak bisa, waras aku tidak pantas, bisaku hanya neurotik"\r\n

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Cerita Jarum Jam

17 Juni 2011   04:51 Diperbarui: 26 Juni 2015   04:26 118
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

[caption id="attachment_114459" align="alignnone" width="400" caption="www.google.com"][/caption] Kopi pagi yang diseruput siang-siang ternyata masih berfilosofi hitam, manis, pahit dan asam. Sementara kepala masih saja menggilai sesuatu yang gila segila-gilanya, ternyata. Ah... Sehabis berdoa, membuatkan susu untuk ibu, membalas email, sms, komentar Facebook, mencuci pakaian, menyapu lantai, menyapa tetangga, mengajar privat bahasa Inggris anak-anak, membeli rokok, mampir di rumah teman, bersalaman, bercanda lalu berpamitan. Kuhampiri PC kesayanganku dan kubiarkan isi kepalaku berloncatan keluar layar monitor. ------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------ Jarum jam dinding masih berputar tanpa ada kebingungan sedikitpun. Pernah kubertanya padanya, "Hei Jarum, pernahkah kau bimbang, berhenti dan berfikir sejenak menemukan arahmu?" Tetapi dia tak peduli dengan pertanyaanku, jarum masih menyambangi angka demi angka. Menurutku jarum jam adalah benda yang paling adil. Dia singgahi setiap angka dalam momentum yang sama lamanya. Dia tidak pernah pincang: Lebih lama mampir di angka 12 atau lebih sebentar mampir di angka 6. Mulanya saya kagum pada ketegasannya yang tidak pernah ada kata kompromi, apalagi toleransi. Di tengah perputaran, angka 12 sedang menantikan kedatangan sang jarum. Angka 12 masih harus menunggu angka 1 sampai angka 11 mendapatkan giliran disinggahi sang jarum. Sementara dalam penantiannya, angka 12 sedang merasakan kesakitan yang luar biasa. Dia sangat mengharapkan sang jarum segera datang menolongnya.Namun sang jarum tidak mau peduli dengan keadaannya. Dia tetap menyinggahi setiap angka dengan jumlah waktu yang sama lamanya. Dia tidak berani mempercepat pergerakannya. Karena dengan mempercepat pergerakan, dapat merusak sistem kerja mekaniknya. Yang pada akhirnya dapat menutup riwayat pelayanan sang jarum. Tik.. tok.. tik.. tok bunyi mekanik statis  menjadi pelopor pelayanan sang jarum. Bagiku jarum jam sedang melakukan pelayannya. Panggilan jiwanya menyambangi dan melayani setiap angka yang berada di sekitarnya. Dari dulu hingga sekarang dia hanya melayani 12 angka. Tidak pernah berkurang dan bertambah. Aku sejenak memikirkan keadaan angka 12 yang sedari tadi sudah lama berharap sang jarum segera datang menemuinya. Angka 12 mengerang kesakitan, badannya menggigil dan tatapan mata yang kosong. Pelan-pelan dari matanya mengalir air mata. Dia menangis menahan perih. Dia tak mampu mengusap air mata yang mengalir itu, karena dia juga tak mampu menggerakan kedua tangannya. Aku marah melihat pergerakan sang jarum yang terlalu mengikuti aturan main. Mungkin juga karena ketidaksabaranku. " Hei Jarum, tidakkah kau punya keberanian melawan kodratmu?" "Tinggalkan angka-angka lain dan segera datangi angka 12"! " Dia sangat membutuhkanmu. Namun sang jarum tetap saja melaju, tidak dipercepat dan tidak diperlambat. Sampai pada akhirnya Sang jarum tiba di tempat, dimana biasa angka 12 berdiri. Sang Jarum matanya membelalak, ketika dia tidak lagi melihat angka 12. Dia bertanya-tanya dalam hati, " kemana perginya angka 12"? Lalu dia merenung dan perlahan sadar bahwa angka 12 sudah mati. "Oh, angka 12 sudah mati. Dia tidak lagi bisa menjadi penunjuk waktu. Padahal angka 12 adalah angka yang paling berperan untuk menunjukkan waktu. Ini salahku" hiks... hiks... Sang Jarum menangis dan sangat menyesali perbuatannya. Angka-angka lainpun ikut menangisi kepergian angka 12. Sang jarum berkata dalam hati, "Percuma aku berputar-putar mendatangi angka demi angka, namun ketika angka 12 sangat membutuhkan pertolonganku, aku tak dapat mendahulukan dia. Bukankah perputaranku demi pelayanan untuk setiap angka?Aku tak dapat membayangkan bagaimana rasa kesakitan yang di derita angka 12" Sang jarum terus menangisi peristiwa itu. Sejak kejadian itu, aku tidak lagi mengidolakan sang jarum. Aku kecewa. Pikirku, sang jarum tidak memiliki hati nurani, dai tidak bebelas kasihan sama sekali. Seandainya sang jarum mau sedikit melawan kodratnya, mungkin angka 12 masih hidup sampai sekarang. Namun aku juga merenungi keadaan sang jarum. Pasti sang jarum juga sedih kehilangan angka 12 yang sedari dulu memang sudah berkawan. TAMAT

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun