Mohon tunggu...
Veronica Yuliani
Veronica Yuliani Mohon Tunggu... Guru - Guru bahasa yang jatuh cinta dengan cello, panflute, dan violin.

Menulis untuk berbagi dan menginspirasi

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Cerpen: Tiga Huruf

31 Maret 2020   08:11 Diperbarui: 31 Maret 2020   08:12 147
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Inem namanya. Sederhana. Sesederhana orangnya. Wanita itu kira-kira berumur hampir tiga puluh lima tahun. Janda beranak satu asal Jawa Timur, bekerja sebagai tukang cuci di sebuah kompleks perumahan di Jakarta. Ia memegang cucian empat rumah, termasuk di rumah kosku. Hampir setiap hari ia datang ke kos. Tentu saja bukan untuk mencuci bajuku, melainkan untuk mencuci baju milik seorang bapak dan seorang ibu yang lain berserta anaknya yang merupakan tetangga kamar kosku. 

Aku tinggal di kamar atas sedangkan mereka tinggal di bawah. Aku adalah wanita mandiri dan pekerja keras, sehingga tak memerlukan tukang cuci seperti Mbak Inem. Kalau, saja ucapanku tadi didengar oleh Mbak Inem atau orang lain tentu mereka akan menganggapnya sebagai alasan yang terlalu dibuat-buat. Alasan yang mendekati kebenaran adalah sesungguhnya aku tak mempunyai banyak uang untuk membayar tukang cuci seperti Mbak Inem.

Sebenarnya aku bisa saja membayar tukang cuci seperti Mbak Inem, kalau aku mau. Tapi tentunya bukan murni dengan uangku sendiri, karna gajiku tak kan cukup untuk itu. Kakak lelakiku seorang wiraswasta, memiliki hampir 20 karyawan. Penghasilannya kurang lebih sepuluh juta perbulan. Kakakku sangat menyayangiku. Ia tentu tak keberatan memberiku tiga ratus ribu perbulan guna membayar tukang cuci, jika aku memintanya. Tapi itu bukan mauku. Sudah kukatakan tadi, aku adalah wanita yang mandiri. Semenjak lulus kuliah aku memutuskan untuk bisa menghidupi diriku sendiri. Aku ingin membiayai semua kebutuhanku dengan uang hasil kerjaku sendiri. Walapun sulit namun lebih 'terhormat', begitu menurut pemikiranku.

Meski bekerja sebagai tukang cuci, Mbak inem adalah orang yang percaya diri, lagi pula ia ramah dan pandai bercerita. Itu penilainku secara pribadi. Aku betah berlama-lama menemaninya saat ia bekerja. 

Di kala sore hari, sepulang kerja, kutemani dia mencuci atau menyetrika di teras atas. Tentu saja aku hanya menemaninya ngobrol, sambil menikmati senja langit kota. 

Lumayan, setidaknya pengusir sepi bagiku. Semua tetangga kamar kosku adalah pekerja keras, workerholic istilah kerennya. Pergi pagi pulang malam. Kamar kos hanya sekedar tempat menumpang tidur beberapa jam saja.

Begitu juga dengan sore ini. Kuhampiri dia yang sedang menyertika di teras atas. Kubawa pula secangkir teh hangat yang kuberi madu. Hari ini ia terlihat lagi setelah beberapa hari tak nampak karena air pam mati. Jakarta memang sedang krisis air bersih. Bahkan, kemarin aku hanya cuci muka dan gosok gigi sebelum pergi ke kantor, pun menggunakan air dari galon.

"Mbak'e..." begitu sapanya padaku. Khas setiap kali bertemu, bahkan di mana pun itu.

"Baru kelihatan lagi Mbak?" tanyaku basa-basi.

"Iya cucian dan setrikaan 'numpuk. Kemarin sehari 'nyuci tiga kali. Pagi-pagi ke sini, trus tak tinggal dulu ke rumah Oma. Siang ke sini 'nyuci lagi, trus pergi lagi ke rumah sebelah. Sorenya ke sini lagi buat 'nyuci sprei." Seperti biasa dia bercerita panjang lebar tanpa kuminta.

"Tumben belum pulang?." Kulihat senja sudah merona di langit kota. Bias-biasnya terkuas indah berwarna orange keemasan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun