Adi menutup buku matematikanya perlahan. Â Bel baru saja berbunyi tanda pelajaran usai. Ditatapnya Bu Elly dengan wajah memelas." Saya boleh kembali, Bu?" pintanya.
Bu Elly melihat ke arah Andy lalu mengangguk. "Jangan diulang lagi," kata Bu Elly singkat.
Bagai pesakitan Adi  berjalan pelan menuju tempat duduknya. Ya, hari ini ia kembali disetrap di luar. Tidak tanggung tanggung. Bu Elly memberinya lima belas soal tentang operasi hitung bilangan bulat.
"Ini hukuman bagi anak yang sering lalai mengerjakan PR," kata Bu Elly dingin.
Dengan penuh sesal  Adi menerima lembaran soal lalu ia menuju ke gazebo.
Andai dia semalam tidak melayani ajakan Nando untuk mabar, pasti tidak akan begini ceritanya.
Adi sebenarnya bukan termasuk anak yang bodoh di kelas. Semua pelajaran ia mampu, tapi satu penyakitnya yaitu sering sembrono dan lalai mengerjakan tugas.
Dari semua pelajaran dia paling pintar dalam matematika, tapi itulah, Â sering lalai, catatan tidak lengkap dan buku sering dicampur membuat Adi sering ditegur Bu Elly.
Di rumah, tak bosan-bosan ibu selalu mengingatkan Adi untuk belajar. Hari harinya lebih banyak dipakai untuk main hp. Tapi dengan santai Adi selalu menjawab," Tenang sajalah Bu..., aku bisa kok...,"
Semua kesembronoan Adi berbuah pada nilai nilainya. Meski saat pembelajaran ia selalu bisa menyelesaikan soal paling cepat, tapi nilainya tak pernah sempurna. Beberapa kali bahkan ia harus remidi.
"Lebih hati-hati Adi.. teliti," selalu begitu kata Bu Elly.Â
Ya, Bu Elly wali kelasnya merasa sangat gemas, meski pintar nilai Adi tak pernah cemerlang.Â
"Di, nanti jadi lho," kata Nando teman sebangku yang juga tetangganya. Rumah mereka hanya dipisahkan oleh gang. Siang itu keduanya dalam perjalanan pulang sekolah.
Nando adalah teman yang menyenangkan. Sejak dekat dengannya Adi sering diajak mabar atau main bersama game online.
"Waduh, tugas matematika ku belum beres Ndo, tadi aku disetrap Bu Elly," kata Adi resah.
"Halah, matematika kan gampang. Kamu pinter gitu kok, buktinya sering memberi aku contekan dan benar," kata Nando lagi.
Adi menggaruk kepalanya yang tidak gatal
"Bagaimana ya?" Ia sungguh takut jika pekerjaannya belum lengkap. Tatapan marah Bu Elly tadi siang masih terbayang- bayang.
"Sudahlah, yang penting pasang alarm mu jam sembilan. Kita mabar, anak anak siap jam segitu," tukas Nando sambil terus masuk gang menuju rumahnya. Tidak dihiraukannya Adi yang masih galau.
Adi terus berjalan. Kata kata Bu Elly tadi siang masih terngiang.
"Adi, kamu sebenarnya anak pintar, daya tangkapmu luar biasa, tidak disiplin yang membuat kamu seperti ini. Besok, jika Adi tidak mengerjakan PR lagi, soal akan Ibu tambah,"
Duh, padahal soal yang hari ini  saja belum kelar, pikir Adi.
Jam sudah menunjukkan pukul sembilan malam. Adi masih berkutat dengan soal matematika nya. Tidak sulit, tapi agak panjang jawabannya.
Tiba-tiba alarm Adi menjerit. Adi langsung meloncat. Waktunya mabar, pikirnya cepat.
Tanpa menunggu lama ia segera mengambil Hp, mengunci pintu kamar dan mabarpun dimulai. Tidak dihiraukannya buku pekerjaan matematika yang ada di meja.Â
Dua belas nomor sudah beres, tiga nomor berikutnya  dikerjakan besok pagi, pikir Adi.
Mabar yang demikian seru. Hingga tak terasa jam sudah menunjukkan pukul setengah satu dini hari. Adi meliukkan badannya yang terasa pegal.
"Sudah ya Rek, aku tidur dulu, ngantuk," chat Adi pada teman- temannya.
"Ya wes, ayo tidur..tidur..," chat Nando.
Lampu kamar dimatikan dan tak berapa lama Adipun sudah terbang ke alam mimpi.
Jam sudah menunjukkan pukul 7 kurang lima. Adi bergegas memasuki pintu gerbang. Tepat di depan kelas bel berbunyi dan dari kejauhan tampak Bu Elly berjalan cepat menuju kelas 5B.
Deg, jantung Adi serasa berhenti berdetak. Astaghfirullah, kurang tiga soal! pikirnya panik.
Bu Elly tersenyum pada Adi. Dan sungguh, Adi menjadi blingsatan  karenanya. Bayangan tambahan lima soal begitu nyata dalam benaknya.
"Kamu sudah tahu konsekuensinya kan?" kata Bu Elly ketika Adi menyerahkan buku yang berisi soal hukumannya. Dua belas soal, kurang tiga.
Meski Bu Elly mengatakan dua belas soal yang dikerjakan Adi benar semua, tapi hukuman tetap hukuman. Hari ini soal ditambah lagi.Â
Dan seperti kemarin, Adi kembali berkutat dengan soal-soal matematika.
Ketika bel istirahat pertama berbunyi Adi mengumpulkan pekerjaannya pada Bu Elly. Bu Elly memeriksa pekerjaan Adi dan memberikan nilai. Benar semua.
"Pintar," kata Bu Elly singkat.
"Kamu dipanggil Bapak Kepala Sekolah di ruangan beliau," tambah Bu Elly.
Adi terhenyak kaget.
"Saya minta maaf, Bu.., saya berjanji tidak akan mengulangi kesalahan saya," kata Adi takut. Berkali- kali disetrap, pasti ini yang membuat dia dipanggil kepala sekolah.Â
Jangan-jangan ia akan dikeluarkan, pikirnya resah.
Bu Elly cuma menjawab singkat," Segera ke sana , sudah ditunggu Pak Bagja,"
Adi berjalan pelan menuju ruang yang berada di dekat gazebo itu. Ruangan yang didominasi cat putih. Tampak rapi tapi juga dingin. Meja kursi tertata rapi. Hadirnya bunga dalam vas membuat ruangan terasa sedikit ramah.
Ternyata di sana sudah ada Shela dan Windi, siswa kelas 5A. Shela dan Windi? mereka anak anak yang pintar dan rajin. Tapi mengapa juga ada di sini?
"Adiyan Wiratama?" tanya Bapak Kepala Sekolah ramah begitu melihat kedatangannya. Adi mengangguk takut-takut.
"Duduk," kata Pak Bagja sambil menunjuk tempat kosong di sebelah Shela. Semua diam sejenak. Bapak kepala sekolah menutup buku di hadapannya.
"Jadi kalian bertiga saya minta untuk mewakili sekolah kita dalam lomba cerdas cermat tingkat kecamatan. Ada tiga mapel yang dilombakan yaitu matematika, IPA, IPS." Ketiga anak itu memperhatikan keterangan Bapak Kepala Sekolah dengan takjub.
"Shela sebagai wakil dari IPA, Windi dari IPS dan Adi dari matematika,"lanjut Pak Bagja.
Jika ada suara petasan di siang itu mungkin tidak akan membuat Adi sekaget sekarang.Â
"Siap Pak," jawab Shela dan Windi sigap. Adi masih ternganga .
"Adi, kenapa?" tanya Pak Bagja sambil tersenyum.
"Apa saya bisa, Pak?" katanya tak percaya.
Pak Bagja menatap Adi sungguh-sungguh.
"Insya Allah bisa. Saya sudah banyak mendapat cerita tentang kamu dari Bu Elly. Beliau yang mengusulkan agar kamu masuk tim cerdas cermat kita."
Deg.., Adi sungguh tak menyangka. Di balik kemarahan dan ketegasan Bu Elly yang tak kenal kompromi ternyata beliau sangat perhatian padanya.
"Baik Pak,..siap," kata Adi kemudian.
Pak Bagja tersenyum pada ketiganya. "Baik, saya minta kalian disiplin dalam menjalani latihan, dengan terus belajar.,"
"Ingat, kuncinya disiplin," tanda Pak Bagja.
Ketiganya segera salim dan meninggalkan ruang kepala sekolah.Â
Hari demi hari berlalu. Hari yang padat dengan jadwal belajar dan latihan cerdas cermat. Â Kadang mereka bertiga dibimbing Bu Elly, Bu Risma guru kelas 5A atau bapak kepala sekolah sendiri. Lupakan sejenak game online, tekad Adi.Â
Hasil tidak akan mengkhianati usaha. Di hari H pelaksanaan lomba cerdas cermat, Â regu SD Mekarsari tampil demikian gemilang. Dalam adu cepat setiap pertanyaan dari juri dibabat dengan mudah.Â
Adi dengan kecepatan hitungnya benar-benar membuat penonton terkesan.Â
Poin demi poin dikumpulkan oleh tim SD Mekarsari, dan mereka melesat semakin jauh meninggalkan lawan-lawannya.
Ketika saat pengumuman pemenang tiba, suasana demikian meriah. Sorak sorai para penonton bergemuruh terutama supporter dari SD Mekarsari.Â
Ya, gelar juara satu berhak mereka sandang, dan itu berarti bulan depan mereka harus berlomba di tingkat selanjutnya.
"Hidup..,"
"Horeee, Adi.. Adi...!"
Sesudah penyerahan piala Bu Elly menyalami ketiganya. Shela, Windi dan Adi tersenyum gembira. Wajah mereka begitu cerah.Â
Adi memegang erat tangan Bu Elly.Â
"Bu, terima kasih atas kepercayaannya.,," katanya dengan penuh haru
Bu Elly tersenyum dan menatap Adi dengan bangga.Â
Adi merasa bahwa itulah senyum Bu Elly yang paling manis selama ini.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI