Mohon tunggu...
yudyantara risadi
yudyantara risadi Mohon Tunggu... Mahasiswa S3 Ilmu Pendidikan Universitas Ganesha

saya hobi menulis sesuai dengan perkembangan zaman

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Siswa Tingkat Menengah Mengalami Masalah dalam Literasi Dasar: Sebuah Refleksi dan Perspektif dari Howard Gardner

20 Oktober 2025   00:21 Diperbarui: 20 Oktober 2025   00:21 4
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Akhir akhir ini kita dipukul dengan kenyataan bahwa ada banyak kasus ketidakmampuan membaca yang dialami oleh siswa-siswa di Tingkat pendidikan menengah. Hal ini menjadi perhatian khusus bagi para akademisi untuk melihat fenomena ini dari berbagai pandangan yang dapat mendasari terjadinya hal tersebut. Salah satu pandangan yang bisa dijadikan acuan adalah pandangan filsafat kontemporer dari Howard Gardner. Masalah ketidakmampuan membaca atau rendahnya kemampuan literasi dasar anak-anak menjadi salah satu tantangan serius dalam pendidikan kontemporer di berbagai negara, termasuk Indonesia. Meskipun teknologi digital berkembang pesat dan akses informasi semakin luas, paradoksnya, banyak anak justru mengalami kesulitan dalam kemampuan membaca, memahami teks, dan berpikir kritis. Dalam konteks ini, gagasan filsafat pendidikan Howard Gardner tentang Kecerdasan Majemuk (Multiple Intelligences) menawarkan perspektif yang sangat relevan dan transformatif untuk memahami serta mengatasi permasalahan tersebut. Gardner pada bukunya, Frames of mind tahun 1983 memberikan pandangan bahwa adanya beragam kecerdasan yang dimiliki oleh seorang siswa, bukan hanya 2 jenis kecerdasan, linguistic-verbal dan logika-matematik. Keterbatasan pandangan ini berdampak besar pada dunia pendidikan. sekolah seringkali menilai anak-anak berdasarkan kemampuan membaca, menulis, dan berhitung. tanpa memperhatikan bahwa tidak semua anak belajar dengan cara yang sama. Akibatnya, ketika seorang anak mengalami kesulitan membaca, ia sering dicap "kurang cerdas", "lambat", atau "tidak mampu", padahal sebenarnya ia mungkin memiliki potensi besar di bidang lain, misalnya dalam seni visual, musik, atau kinestetik. Filsafat Gardner membantu kita memahami bahwa kesulitan membaca tidak selalu berarti kekurangan intelektual, melainkan bisa jadi akibat dari ketidaksesuaian antara gaya belajar anak dengan pendekatan pengajaran yang digunakan di sekolah. Dengan kata lain, kegagalan literasi bukan semata kesalahan anak, tetapi juga kegagalan sistem pendidikan dalam mengakomodasi keragaman kecerdasan manusia.

Pandangan Gardner ini menekankan bahwa kecerdasan bukanlah bakat bawaan yang statis, melainkan sebuah kemampuan yang dapat dikembangkan melalui lingkungan yang tepat dan pengalaman belajar yang bermakna. Artinya, kemampuan literasi dasar seperti membaca dan menulis bisa ditumbuhkan secara bertahap sesuai dengan profil kecerdasan anak. Misalnya, seorang anak dengan kecerdasan musikal tinggi mungkin akan lebih mudah memahami bunyi bahasa, irama kalimat, atau pola suku kata melalui lagu dan ritme. Anak dengan kecerdasan kinestetik mungkin belajar membaca lebih efektif melalui aktivitas fisik, seperti menunjuk huruf dengan gerakan atau bermain peran berdasarkan teks cerita. Sementara anak dengan kecerdasan visual-spasial bisa dibantu memahami huruf dan kata melalui ilustrasi, warna, atau media visual interaktif. Pendekatan ini jauh lebih inklusif dibanding metode konvensional yang hanya menekankan pengulangan fonetik atau hafalan huruf. Dengan mengintegrasikan berbagai kecerdasan, membaca menjadi kegiatan yang menyenangkan, hidup, dan bermakna, bukan tugas kognitif yang kaku.

Salah satu inti dari pandangan Gardner ini adalah bagaimana pendidik bisa menghargai keunikan tiap peserta didiknya. Ia menegaskan bahwa setiap anak memiliki profil kecerdasan yang berbeda dan tentunya pandangan ini menolak sistem pendidikan yang seragam dan mengukur semua siswa dengan alat yang sama. alam konteks rendahnya kemampuan membaca, pandangan Gardner mengajak pendidik untuk tidak menyalahkan anak yang tertinggal dalam literasi, tetapi justru mencari pendekatan yang sesuai dengan gaya belajarnya. Seorang guru yang memahami teori kecerdasan majemuk tidak akan memaksa semua anak belajar membaca dengan metode fonik yang sama. Ia akan mencoba berbagai cara, melalui lagu, permainan, gambar, cerita, atau interaksi sosial, untuk menemukan jalan masuk terbaik bagi tiap anak. Dengan demikian, guru berperan sebagai fasilitator pertumbuhan kecerdasan, bukan sekadar penguji kemampuan akademik. Pendidikan menjadi proses yang lebih manusiawi, karena menghormati perbedaan dan menumbuhkan rasa percaya diri anak dalam belajar.

Masalah literasi anak-anak di era sekarang juga tidak bisa lepas dari pengaruh teknologi digital. Anak anak jaman sekarang terbiasa dengan informasi visual yang cepat dengan video, animasi, dan fitur lainnya. Hal ini mengakibatkan anak-anak kehilangan kemampuan untuk fokus, memahami teks Panjang, dan berpikir mendalam. Filsafat Gardner relevan di sini karena ia membantu kita memahami bahwa kecerdasan digital (kombinasi dari visual-spasial, interpersonal, dan kinestetik) sebenarnya bisa menjadi jembatan menuju literasi, bukan ancaman. Guru dapat menggunakan media interaktif, cerita digital, atau permainan edukatif untuk menstimulasi minat membaca anak-anak yang tumbuh dalam budaya visual. Misalnya, anak dengan kecerdasan spasial tinggi mungkin lebih tertarik membaca buku bergambar atau komik digital. Anak dengan kecerdasan interpersonal bisa belajar membaca melalui kegiatan kelompok, seperti membaca bergantian atau mendiskusikan isi cerita. Dengan mengintegrasikan berbagai bentuk kecerdasan, membaca tidak lagi terasa sebagai beban, melainkan ekspresi diri dan komunikasi dengan dunia.

Pemikiran gardner memiliki implikasi yang penting bagi kebijakan pendidikan literasi. Sistem pendidikan yang masih menekankan standar Tunggal, seperti tes dengan menggunakan teknik membaca seragam, tidak akan mampu menangani keragaman kemampuan anak-anak. Filsafat kecerdasan majemuk mendorong diterapkannya pendekatan pembelajaran diferensiatif, di mana strategi pengajaran, media, dan penilaian disesuaikan dengan profil kecerdasan siswa. Guru perlu diberi ruang untuk berinovasi, menggunakan metode kreatif, dan mengenali potensi masing-masing anak. Kurikulum juga perlu membuka ruang bagi literasi multimodal, yaitu kemampuan membaca berbagai bentuk teks yang sesuai dengan zaman anak-anak sekarang. Ketika prinsip-prinsip Gardner diadopsi, pendidikan literasi akan bergeser dari paradigma defisit ("anak tidak bisa membaca") menjadi paradigma potensi ("anak belajar membaca dengan cara berbeda"). Perubahan perspektif inilah yang dapat mengembalikan semangat belajar dan rasa percaya diri anak-anak yang selama ini tertinggal. Filsafat Gardner mengingatkan bahwa setiap anak cerdas dengan caranya sendiri dan tugas pendidikan adalah menemukan kunci untuk membuka potensi tersebut. Dengan pendekatan yang berlandaskan pada kecerdasan majemuk/ganda, pendidikan literasi dapat berubah dari sekadar Latihan teknis menjadi perjalanan bermakna bagi peserta didik.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun