Mohon tunggu...
Yudi Kurniawan
Yudi Kurniawan Mohon Tunggu... Administrasi - Psikolog Klinis, Dosen

Psikolog Klinis | Dosen Fakultas Psikologi Universitas Semarang | Ikatan Psikolog Klinis Indonesia | Contact at kurniawan.yudika@gmail.com | Berkicau di @yudikurniawan27 |

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Tulisan dan Gebrakan Perubahan Sosial

27 Februari 2013   04:55 Diperbarui: 24 Juni 2015   17:37 298
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Karena kau menulis, suaramu takkan padam ditelan angin, akan abadi, sampai jauh di kemudian hari" (Pramoedya Ananta Toer)

Seperti kata Pram, tulisan 'mengizinkan' gagasan kita berlari dan menyusup kemana saja. Termasuk memengaruhi dan mengubah cara pandang orang lain. Akhir tahun 2012 lalu, saya datang ke kelas Akademi Berbagi (Akber) Yogyakarta. Materi saat itu adalah social movement yang disampaikan oleh Dian Paramita, mahasiswi UGM yang juga seorang aktivis sosial. Berdasarkan pengalamannya, pergerakan sosial cenderung berawal dari gagasan yang dilempar ke publik melalui tulisan. Bahasa tulisan yang bersifat lebih dinamis daripada bahasa verbal mampu menjangkau banyak orang. Beberapa contoh gerakan yang ia lakukan seperti Save Orang Utan dan koin untuk aktivis HAM, almarhum Munir. Jadi, tulisan sebenarnya bersifat sebagai trigger untuk gerakan sosial yang lebih besar.

Saya sendiri pernah merasakan bagaimana dampak sebuah tulisan terhadap perubahan sistem di fakultas. Situasi ini terjadi ketika saya masih kuliah. Sata itu, saya menulis masalah kebijakan skripsi dan penelitian mahasiswa di fakultas. Waktu itu (awal 2011, belum kenal Kompasiana), saya memang sering bikin tulisan di fasilitas note pada facebook. Sebelum tulisan soal kebijakan skripsi, saya sudah sering posting artikel tentang permasalahan di universitas/fakultas dan biasanya juga saya tag ke beberapa dosen. Ada yang pro dan ada yang kontra. Kalau dosen yang kontra, biasanya saya kena sindiran ketika di kelas. Hehe.

Nah, kembali pada tulisan mengenai kebijakan skripsi. Menurut saya, tidak ada pengungkapan fakta yang luar biasa dalam tulisan tersebut. Tapi baru beberapa jam tulisan di-­posting¸sudah ada seratusan komentar yang masuk. Bisa jadi karena memang masalah itu dirasakan banyak mahasiswa atau memang karena saat itu sedang momennya ujian skripsi dan wisuda. Percakapan pun meluas di kampus, sampai ada seorang dosen yang marah dan mencetak artikel itu. Saya juga tak menyangka respons terhadap tulisan itu bisa sedemikian besar. Sempat timbul kekhawatiran soal kelulusan, karena saat itu saya juga belum lulus. Dua hari setelah artikel bergulir, saya dan beberapa rekan dari BEM mengadakan pertemuan yang bertujuan untuk menciptakan forum dengar pendapat antara mahasiswa dan dosen. Setelah melakukan sekitar lima pertemuan, pihak BEM mengajukan permohonan forum dengar pendapat kepada pejabat fakultas sebagai klarifikasi tulisan dan pembahasan isu-isu yang ada di dalamnya.

Akhirnya, forum dengar pendapat berhasil dilaksanakan dengan beberapa kesepakatan mengenai isu-isu terkait skripsi dan penelitian mahasiswa. Saya memang tak sempat merasakan kebijakan yang baru, karena sudah lulus. Tapi yang terpenting perubahan itu bisa dirasakan mahasiswa lain yang masih kuliah.

Beberapa hal penting yang perlu diperhatikan jika kita berniat menjadikan tulisan sebagai trigger isu tertentu adalah:

Tulisan sebaiknya berisi data dan fakta. Tulisan yang hanya berisi opini tanpa data, ditambah bumbu-bumbu provokasi, sebenarnya bisa saja menarik perhatian orang lain. Tapi jika kita masih mengutamakan kebenaran, sebaiknya hindari tulisan seperti itu.

Bekerja dengan tim, maksudnya, jika kita memang ingin gagasan dalam tulisan bisa terwujud, maka persiapkan tim yang bisa membantu. Seperti juga pengalaman saudari Dian Paramita dengan Save Orang Utan, ia mewujudkan ide itu dengan bantuan banyak pihak.

Tetap bersikap kritis terhadap isu sosial. Salah satu hal yang bisa mengurangi kepekaan manusia adalah rasa puas yang berlebihan. Bisa jadi kita merasa puas setelah berhasil menulis gagasan dan menjadi motor perubahan sosial. Apalagi jika gagasan itu terkait kekuasaan dan kita malah ditarik ke pusaran kekuasaan.

Terkadang, tulisan yang tak dimaksudkan sebagai trigger tapi ditulis dengan hati, malah mampu menginspirasi banyak orang. Kesimpulannya, teruslah menulis, agar ide-ide terliar kita tetap mampu menyusup dan berlari ke mana saja J

Salam semangat!

@yudikurniawan27

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun