Mohon tunggu...
Yudi MW
Yudi MW Mohon Tunggu... -

Lulusan S1 Manajemen Komunikasi IISIP Jakarta. Saat ini bekerja di customer relation management untuk sebuah perusahaan telekomunikasi. Pernah bekerja di bidang promotion below the line dan surat kabar harian di ibukota.

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Capek Petani Tak Sebanding Hasil

3 Maret 2014   02:08 Diperbarui: 24 Juni 2015   01:18 270
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bisnis. Sumber ilustrasi: PEXELS/Nappy

Awalnya hanya hobi bercocok tanam, dengan sebidang tanah yang dibeli dengan cara mencicil dari juragan tanah yang hartanya digerogoti sang anak. Mulai dari bibit jeruk Pontianak sampai lemon cuwi dicoba ditanam oleh wanita asal Cirebon ini. Rupanya kadar keasaman tanah di desa Sukamulya kecamatan Cikembar kabupaten Sukabumi Jawa Barat itu tak cocok untuk jeruk Pontianak dan jeruk tipe lain yang besar buahnya sama.

Tak putus asa Ibu Murti mencoba menanam belimbing Bangkok, jambu cingcalo yang minta bibitnya dari seorang famili di Rengasdengklok hingga jambu Jamaica. Hobi membaca majalah pertanian seperti Trubus dan buku-buku bercocok tanam, membuatnya tergiur menamam berbagai bibit lainnya seperti durian Bangkok, Montong, Lay,rambutan Jember.

Akhirnya Bu Enti panggilan akrabnya membeli bibit salak Pondoh hingga ke Sleman, Yogyakarta dengan naik truk sebanyak 2 kali. Pasalnya setelah pembelian pertama bibitnya banyak yang mati entah karena perjalanan jauh, kurang air atau kualitas, hingga diputuskan membeli untuk kedua kalinya. Ternyata tanaman salak pondoh sangat butuh air untuk pertumbuhannya.  Problemnya cuaca di wilayah sekitar Cikembang tersebut tidak seperti di Bogor. Bila daerah Cicurug dan Cibadak hujan, belum tentu hujan di daerah Cikembang.

Tanaman golongan palma itu juga tidak boleh terlalu banyak pelepah daun dan harus rajin dipangkas. Agar berbuah bagus salak pun pondoh harus dikawinkan secara manual. Sebab buah yang ditanam dari biji hasil rasanya jauh berbeda dengan sistem cangkok dan perkawinan.

Awalnya sangat sulit menjual hasil panen salak pondoh. Mulai dari memasarkan ke tetangga lama waktu masih tinggal di Jakarta dulu, jualan di pinggir jalan raya Antasari Cipete hingga dibantu jualan sang cucu yang harus berhadapan dengan preman di terminal Kampung Rambutan. Mulai dari zaman harga lima ribu rupiah per kilo gram hingga terakhir menjual dengan harga sepuluh ribu rupiah per kilo gram.

Sebagai petani dan pemilik lahan mereka kerap didatangi tengkulak yang mau membeli rambutan, duku dan buah lain dengan harga murah. Tak ada pilihan lain selain menjual kepada ijon karena mereka butuh uang untuk kebutuhan hidup. Ramainya Bantuan Langsung Tunai (BLT), Jamkesda  tidak mereka cicipi, pihak kelurahan atau balai desa nampak tidak peduli kesejahteraan warganya. Bahkan saat pemilihan kepala daerah Jawa Barat dan Kabupaten Sukabumi pun mereka tidak mendapat undangan pencoblosan atau pun pendataan sebelumnya.

Setelah sang suami pensiun dari BUMN Waskita Karya tanpa uang pensiun sejak tahun 1993, Bu Enti mengikuti ajakan Andi Olleng suaminya tinggal menetap di perkebunannya itu setelah menjual rumahnya di Cilandak Jakarta Selatan. Setelah tanah bidang pertama lunas, Bu enti memutuskan membeli sebidang tanah berikutnya dengan tujuan mendapat akses jalan bagi kendaraan pribadi yang dimiliknya. Sebab tanah bidang pertama lokasinya di tengah-tengah atau dikelilingi tanah orang lain. Terakhir Bu Enti memiliki lahan berbentuk dua huruf L seluas 7000 meter persegi.

Setelah sekian lama akhirnya jarang berjualan ke luar desa Sukamulya kecuali buah melimpah sementara permintaan sedang sedikit, makanya pemasaran hanya dari mulut ke mulut. Para pembeli yang tahu rasa mulai dari tetangga di desa, lalu yang beda kecamatan hingga kota silih berganti datang setelah mencicipinya. Salak pondoh yang ditanam Bu Enti memang segar dan renyah karena baru dipetik dan tanpa bahan pengawet. Namun buah tersebut akan busuk setelah lima hari dipetik jika tidak habis dimakan atau tidak diawetkan. Tak jarang salak tersebut dijadikan buah tangan para pembeli untuk dibawa ke kota atau daerah lain.

Belasan tahun menjadi petani salak pondoh tidak membuat suami istri tersebut semakin kaya harta. Beternak ayam petelur pun mereka lakoni agar dapur tetap ngebul jika salak masih kecil-kecil, sangat muda atau sedang kosong menunggu panen berikutnya. Keluhannya harga pakan yang terus naik sementara konsumen telur mereka tidak mau tahu atau pun mengerti keadaan ini. Prinsip menyedekahkan buah yang berlebih juga sering mereka lakukan dari anak-anak kecil tetangga, orang tidak mampu hingga tukang ojek kebagian mencicipi . Keterbatasan kemampuan fisik karena faktor usia dan modal menjadi kendala mereka mengembangkan kebun salak pondoh tersebut. Mereka tak sanggup menggaji tenaga orang kampong tersebut. Sekarang banyak yang memilih kerja di pabrik dibanding di kebun.

Harusnya mereka dapat menikmati masa pensiun mereka, namun karena tidak ada pemasukkan untuk kebutuhan sehari-hari memaksa mereka tetap bekerja di usia senja.  Sang suami yang keturunan bangsawan Bugis peraih penghargaan Menteri Pekerjaan Umum sudah mengucap kata capek. Pasalnya mereka kakek nenek mengurus kebun yang luasnya hampir tiga perempat hektar dan ayam-ayam hanya dengan berdua saja.

Sudah belasan tahun mereka ingin menjual tanah tersebut apalagi kondisi rumah yang ditempati sudah bocor di sana-sini dan kayu-kayu kasonya sudah harus diganti. Berbagai upaya mulai dari iklan dari mulut ke mulut, koran ibukota hingga internet dicoba untuk memasarkan tanah tersebut. Lewat ketekunan doa setiap shalat lima waktu dan tahajud, alhasil tanah mereka berhasil dijualkan oleh seorang anggota TNI AD kepada sebuah pengembang perumahan Karisma. Namun sampai dengan tulisan ini dibuat pelunasannya terhambat. Mudah-mudahan saja cepat lunas dan mereka dapat menikmati masa tuanya dengan bahagia, nyaman dan tentram, aamiin.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun