Mohon tunggu...
Yudhi Hertanto
Yudhi Hertanto Mohon Tunggu... Simple, Cool and Calm just an Ordinary Man

Peminat Komunikasi, Politik dan Manajemen

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Ketika Rakyat Marah

10 September 2025   21:20 Diperbarui: 10 September 2025   21:20 18
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Amok! Apa yang diperlihatkan dari situasi psikologis publik hari-hari ini, melalui aksi unjuk rasa di berbagai kota hingga berakhir bentrok, sesungguhnya menggambarkan ketegangan sosial yang memuncak dan terakumulasi. Ironinya, rentetan peristiwa ini terjadi, selepas perayaan 80 tahun kemerdekaan republik.

Dibalik uraian pertumbuhan ekonomi, sebagaimana pada paparan pidato kemerdekaan RI yang gegap gempita atas capaian cemerlang 5.12%, bahkan lebih tinggi dari prediksi berbagai pengamat dan lembaga keuangan yang menyebut dikisaran 4.8%, maka ada persoalan yang tidak terbaca dibalik angka kuantitatif tersebut, yakni keresahan sosial.

Data yang ditampilkan secara statistik, mengenai: pertumbuhan lapangan pekerjaan, penurunan kemiskinan dan berbagai indikator prestasi lain, tidak sepenuhnya menangkap aspek kualitatif atas perasaan yang dihadapi masyarakat secara langsung. Sebut saja: gelombang PHK, antrian pencari kerja pada job fair, hingga keterhimpitan atas nilai pungutan pajak.

Apa yang disampaikan di atas podium, berbeda dari realitas kehidupan yang dijalani masyarakat. Beban hidup meningkat, harapan seakan menghilang, tentu sulit untuk membangun rasa percaya -trust.

Seperti efek bola salju, kemarahan publik tersulut dan semakin membesar, karena buruknya model komunikasi para pejabat yang arogan, dalam meladeni pertanyaan publik. Padahal selayaknya republik, maka mereka yang diberi amanah kepemimpinan, seharusnya mengurusi kepentingan publik, res-urusan publica-umum.

Di bulan Agustus ini, kita disuguhi peristiwa penolakan kenaikan 250% pajak di Pati, berbalas komentar petinggi daerah yang menantang para pengkritiknya, lalu berujung permintaan maaf, namun hal itu tidak menghapus luka publik. Keresahan berubah menjadi emosi kemarahan, bara api bertumpuk dalam kebakaran, amok.

Sementara di pusat kota yang sudah bukan Ibukota negara, perihal tunjangan para anggota dewan yang terhormat terbilang fantastis, semakin membuat luka publik bertambah terbuka. Argumen yang ditampilkan "wakil rakyat" justru defensif, bahkan dengan tingkah polah merendahkan pemilik kedaulatan negeri.

Respon berbalik, publik menampar keras wajah mereka yang terpilih, demonstrasi digelar, lantas momentum tragedi Affan Kurniawan -ojol yang meninggal dilindas kendaraan taktis, menjadi simbol perlawanan. Publik muak, lebih dari sekedar sesak, melihat berbagai fasilitas dan keistimewaan yang diterima para elit.

Demokrasi, bermakna kekuasaan berada pada kedaulatan rakyat. Daron Acemoglu dan James A. Robinson, 2012, Why Nations Fail: The Origins of Power, Prosperity, and Poverty, melacak kegagalan negara dalam menghadirkan kesejahteraan sebagai bentuk masalah pada faktor kelembagaan, dimana institusi ekonomi politik bersifat ekstraktif, berpusat "untuk dan hanya" bagi segelintir elit, situasi seperti itulah yang nampaknya kita hadapi saat ini.

Bila tanpa koreksi publik, bukan tidak mungkin membuat kehidupan bernegara ini melaju tanpa kontrol, mengancam demokrasi. Steven Levitsky dan Daniel Ziblatt, 2018, How Democracies Die? menyebut bila kekuasan berwatak otoriter perlahan mematikan demokrasi, kerap melanggar aturan konstitusi untuk kepentingan politik, terlebih bila tidak ada oposisi atas kekuasaan.

Lalu kemana muara setelah seluruh kejadian ini terjadi? Perlu upaya kanalisasi aspirasi publik, suara-suara itu harus didengar dengan hati nurani yang jernih. Lebih jauh lagi, representasi kehendak publik sejatinya diterjemahkan dalam kebijakan yang memberi ruang partisipasi, dengan menimbang kepentingan terbesar publik.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun