Salah satu kontributor buruk dari capaian publikasi ilmiah adalah jurnal predator. Tidak bisa dilepaskan, target publikasi yang menjadi syarat kewajiban menciptakan transaksi di pasar akademik.
Bukan hanya menyoal tentang pemberian gelar honoris causa bagi para elite politik, tetapi juga tentang kecenderungan mengambil jalan pintas bagi upaya publikasi karya ilmiah.
Tidak berhenti disitu, Arief Anshory Yusuf, 2021, melanjutkan dalam opini Terdistorsi Kah Publikasi Akademik Kita? Peran utama akademisi memang melakukan riset penelitian dan publikasi.
Terbentuk tiga klasifikasi kegiatan berpikir ilmiah, (i) ilmuwan, (ii) ilmuwan-kolumnis dan (iii) kolumnis. Dimana ketiganya memiliki peran serta lingkup di ranah berbeda.
Akar Filosofis
Secara kritis, artikel Eunike sesungguhnya menggugah sekaligus menambah daftar panjang dari pemaknaan keberadaan seorang akademisi.
Kaidah ontologis menempatkan para ilmuwan terpisah dalam laboratorium ruang kaca dari kehidupan sosial, hidup di menara gading.
Disisi lain persoalan publik sebagai sebuah realitas sosial semakin terbuka. Pada format epistemologis, maka hasil temuan pengetahuan harus menjadi sebuah metode dalam penyelesaian masalah.
Lebih jauh lagi basis ilmu pengetahuan juga masuk ke ruang aksiologis, terkait dengan manfaat dan tujuan dari kehadiran pengetahuan itu sendiri. Di titik ini terbentuk sebuah pertalian yang koheren, bersifat mengikat pada kegunaan dan fungsinya.
Bahwa pengetahuan tidak ada di ruang hampa, dia tidak berdiri untuk untuk dirinya sendiri, melainkan dilihat dari dampak atas eksistensinya. Lalu apakah publikasi ilmiah dengan model konsumsi pengetahuan secara terbatas di kalangan akademisi menjadi tidak diperlukan? Publikasi ilmiah adalah medium komunikasi antar insan akademik.
Lantas bagaimana melihat relasi kebermanfaatan penelitian bagi publik, manakala hasil publikasi akademik tidak mendapat tempat dalam pertimbangan para pemangku kebijakan dan pengambil keputusan? Akademisi sejatinya merupakan kelompok pecinta kebenaran.