Karena itu mereka yang beruntung dalam posisinya sebagai akademisi, tidak bisa diam dan berdiam diri dalam kesunyian, ketika ada hal yang dirasa berbeda serta keluar dari garis kebenaran. Suara akademisi harus sampai pada publik sebagai bagian dari pencerahan.
Buku Tom Nichols, Matinya Kepakaran, 2018 mengingatkan relevansi kehadiran para pakar yang semakin hilang dalam riuh percakapan dalam disrupsi teknologi. Kemunculan influencer justru menjadi barometer bagi publik, mematikan peran pakar yang justru terbelenggu dalam penjara ilmiahnya.
Hal tersebut diterangkan dengan jelas oleh Peter Fleming, Dark Academia, How Universities Die, 2021 menerangkan bahwa kematian kampus dan entitas intelektual didalamnya, terjadi manakala komersialisasi pendidikan semakin dalam membentuk birokratisasi kampus dimana para cendikiawan sibuk mengejar ukuran-ukuran hampa, sehingga melupakan bagaimana seharusnya menjadi bersenyawa dengan kepentingan publik.
Perdebatan ini tetap menarik, dengan memberi catatan besar, (i) publikasi ilmiah adalah hakikat alamiah sebagai bentuk dinamika intelektual dari kehidupan akademisi, (ii) perlu ada ruang akademik yang mampu mengakomodasi bidang peminatan baru, bagi upaya menjawab persoalan publik, (iii) format Tri Dharma perguruan tinggi pengajaran, penelitian dan pengabdian masyarakat tidak seharusnya selesai dalam target rutin form administrasi, melainkan mendorong terciptanya ruang literasi dan dialog publik.
Bila orientasi publikasi akademik hanya terkonsentrasi pada indikator kuantitas tanpa kualitas, terlebih mengejar pemenuhan pelaporan dibanding substansi dampak yang dihasilkan, maka kita harus memikirkan ulang masa depan pendidikan kita.
Â