Tipis! Batas kritik dan menghina menjadi amat tipis bila persepsi pemaknaan dilakukan melalui satu pintu. Padahal kritik bisa didekati melalui berbagai pintu interpretasi.
Dalam dunia yang saling terkoneksi melalui jejaring digital, kita memang tengah berhadapan dengan berbagai jebakan informasi. Kajian khusus Kompas (28/6) memperlihatkan hal itu.
Bersuara melalui platform media online yang saat ini relatif mudah diakses, bukan tanpa tanggung jawab. Terdapat norma dan aturan dalam kerangka legal maupun moral yang berlaku.
Kebebasan itu memiliki ruang batas. Pada titik itu kita menyepakati kritik dan menghina adalah dua hal yang terpisah dan berbeda. Harus ada etika yang mengikat dalam upaya menyampaikan kritik.
Pada beberapa hari terakhir, kita disuguhi berita tentang meme yang dirilis BEM UI di media sosial tentang posisi Presiden sebagai King of Lip Service. Pihak otoritas kampus bertindak sigap.
Pemanggilan dilakukan, organisasi mahasiswa dianggap keluar dari koridor hukum. Amplifikasi isu juga terjadi melalui pro-kontra media sosial, apa yang dilakukan BEM UI disambut ramai.
Pada akhirnya, justru rangkap jabatan Rektor UI terkuak berhadapan dengan statuta kampus. Publik menangkap tambahan informasi justru di luar substansi kritik yang disampaikan.Â
Sebagian pihak yang berposisi kontra menganggap apa yang disampaikan BEM UI melalui meme tidak layak menjadi argumen, tendensinya dianggap bermuatan sebagai hinaan.
Pada saat yang bersamaan, di media sosial ada pula pernyataan seorang Komisaris BUMN yang ingin meludahi seorang pejabat. Hinaan atau kritik?
Ilmu komunikasi menyebut bila tafsir sebuah teks sesungguhnya multimakna sesuai dengan perspektif yang digunakan. Dengan begitu, makna sebuah teks bergantung posisi Anda.
Kritik dan Menghina