Mohon tunggu...
Yudhi Hertanto
Yudhi Hertanto Mohon Tunggu... Penulis - Simple, Cool and Calm just an Ordinary Man

Peminat Komunikasi, Politik dan Manajemen

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Babak Akhir Turbulensi KPK

20 Mei 2021   22:02 Diperbarui: 20 Mei 2021   22:05 284
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Nilai pertaruhannya tentang masa depan generasi dan kehidupan negeri kemudian hari. Problemnya publik terbelah akibat politik kekuasaan, terjadi kekosongan kolektif oposisi yang korektif.

Tidak heran, KPK menjadi target dan sasaran dari para pihak yang menggambarkan sebagai ganjaran. Walhasil, sekitar 75 pegawai terpental. Mereka tidak lolos seleksi, dengan indikator yang masih buram, butuh transparansi. 

Lebih jauh lagi, hal ini merupakan konsekuensi dari episode panjang upaya berbagai kepentingan guna mereduksi fungsi dan tugas KPK. Berkali-kali, hingga pengesahan revisi UU KPK.

Wacana

Substansi dalam perubahan UU KPK berbicara mengenai aspek pembatasan kewenangan kerja serta ruang pengawasan, dengan alasan agar tidak terbentuk lembaga yang superbody, cerita lama yang terus diputar ulang.

Mengacu pada hasil rilis Indeks Persepsi Korupsi Transparency International Indonesia-TII 2020, terjadi penurunan skor dan peringkat secara bersamaan. Indonesia menduduki posisi ke 102 dari 180 negara, sebelumnya peringkat 85, dengan nilai 37 terjadi penurunan 3 poin.

Sebuah situasi yang tidak menguntungkan, karena kita menjadi setara dengan Gambia, bahkan lebih rendah peringkatnya dari Timor Leste skor 40. 

Sorotan tajam ditujukan pada soal penegakan hukum dan pelayanan birokrasi serta nilai integritas politik yang bersanding dengan kualitas demokrasi. Hasil temuan tersebut memberikan gambaran tentang penyakit kronis korupsi.

Keberadaan KPK secara signifikan menjadi dibutuhkan untuk memastikan perilaku korupsi tidak berbiak. Disini proksi perang kepentingan termuat dalam pertarungan narasi yang terbaca pada berbagai media, baik mainstream maupun media sosial.

Tercatat berbagai narasi yang perlu dirunut: (i) wacana tentang kelompok Taliban di KPK, (ii) KPK bukanlah Novel Baswedan, dan Novel Baswedan bukan representasi KPK, (iii) pegawai yang tidak lulus TWK memang tidak memenuhi kualifikasi, (iv) pegawai yang non aktif perlu belajar dari anak presiden yang gagal tes CPNS.

Berbagai upaya mendistorsi informasi tersebut, menciptakan ruang bias bagi persepsi dan opini publik. Hal ini juga dilengkapi dengan kejadian serangan digital dan peretasan siber saat ICW konferensi pers menyikapi pemberhentian 75 pegawai KPK. Paket komplit.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun