Fenomena turun kelas memberikan gambaran, bagaimana kemudian publik merespon kenaikan premi. Ketika kini dikembalikan ke premi semula, arah berkebalikan untuk naik kelas sangat mungkin terjadi. Publik akan melakukan efisiensi biaya, economic behaviour-nya memang begitu.
Lantas, apa makna putusan MA bagi pemerintah? Jelas perlu memikirkan bagaimana skema bailout atas defisit BPJS Kesehatan. Tetapi bisa juga menggunakan kebijakan final MA sebagai escape clause untuk melepaskan program BPJS Kesehatan pada mekanisme pasar normal. Sementara bagi BPJS Kesehatan, keputusan MA jelas menambah rumit permasalahan yang dihadapi. Defisit semakin membengkak.
Argumen awal kenaikan premi yang diajukan, adalah untuk menutup senjang pembiayaan. Bahkan dengan kenaikan premi saja, defisit masih diproyeksikan akan tetap terjadi. Bila kenaikan premi ditangguhkan, bisa dipastikan ada potensi untuk tersendatnya aliran finansial atas program tersebut.
Disisi lain, bagi penyedia layanan sebagaimana institusi rumah sakit dan tenaga medis, khususnya pihak swasta akan semakin terombang-ambing dalam ketidakpastian. Dengan premi yang sudah naik saja, keterlambatan pembayaran klaim BPJS Kesehatan masih terjadi. Terlebih, tarif jasa layanan belum juga mengalami koreksi sekurangnya dalam kurun waktu 3 tahun terakhir.
Limbung. Berbagai upaya efisiensi biaya operasional dari operator pemberi layanan langsung, tidak mudah terjadi. Semisal, kebijakan UMP untuk komponen biaya tenaga kerja tidak bisa dikompromikan, setiap tahun mengalami kenaikan. Belum lagi soal pajak badan usaha yang setara industri layaknya.
Sulit untuk tetap bertahan, khususnya bagi pihak swasta yang terhidupi dari pendapatan layanan. Berbeda dari operator berbasis milik pemerintah, yang masih mendapatkan alokasi anggaran baik dari pemerintah pusat maupun daerah. Maka perlu ada pertimbangan prinsip keadilan, yang dapat diterima oleh semua pihak sebagai pemangku kepentingan program BPJS Kesehatan.
Lebih menyakitkan, selama ini tudingan kebocoran anggaran BPJS Kesehatan terjadi sebagai akibat dari tindakan fraud pemberi layanan. Ibarat nila setitik rusak susu sebelanga. Representasi yang dimunculkan, melalui imej perilaku curang, manipulatif dan mencari keuntungan bagi diri sendiri, adalah konstruksi kejam bagi pemberi layanan yang bersikap jujur dan mengikuti peraturan BPJS Kesehatan.
Mungkinkah Bendera Putih?
Bila dibiarkan, bukan tidak mungkin program BPJS Kesehatan akan ambruk. Padahal dalam kerangka kepentingan ideal, pemenuhan kebutuhan kesehatan publik, dengan kemudahan akses bagi pemberian layanan kesehatan  sangat dibutuhkan. Lalu bagaimana membangun keseimbangan dan harmoni, bagi keberlangsungan program BPJS Kesehatan yang menjadi amanat kehidupan bernegara?
Tidak pelak keputusan MA, membuat program ini menjadi semakin pelik. Tapi sekurangnya masih terdapat ruang solusi yang dapat ditempuh. Termasuk di antaranya, memungkinkan terjadinya cost sharing untuk pembiayaan jasa pelayanan. Kalau ide tersebut masih belum menarik, sebaiknya dipikirkan pula peneraman Single Premi. Jadi BPJS Kesehatan hanya menawarkan layanan satu kelas.
Dengan demikin kelas standar terbentuk, dimana bersamaan dengan itu, dapat dibuat tarif tunggal, sebagaimana rencana yang sudah beredar.Â