Mohon tunggu...
Yudhi Hertanto
Yudhi Hertanto Mohon Tunggu... Penulis - Simple, Cool and Calm just an Ordinary Man

Peminat Komunikasi, Politik dan Manajemen

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Logika antara Asap, KPK, dan Kerja Buzzer

17 September 2019   03:24 Diperbarui: 18 September 2019   15:25 1041
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Presiden Joko Widodo meninjau penanganan kebakaran lahan di Desa Merbau, Kecamatan Bunut, Pelalawan, Riau, Selasa (17/9/2019). (ANTARA FOTO/PUSPA PERWITASARI)

Bila kemudian OTT lebih diartikan sebagai upaya penjebakan, maka logika sederhananya mengatakan, mengapa para politisi yang terkait pengambilan kebijakan sampai mau berada dalam situasi yang terjebak? Menerima suap merupakan tindakan sadar, bukan seperti hipnotis jalan, ada perencanaan dan maksud serta tujuan. 

Pada berbagai kasus, motif menggangsir uang negara disembunyikan dalam berbagai strategi yang detail, bahkan menggunakan kata sandi yang disamarkan. Jelas sebuah niatan.

Netizen di antara Buzzer
Dalam memaknai kasus asap dan KPK, netizen menjadi indikator. Problemnya para buzzer tetap memainkan peran. Entah sesuai pendapat pribadi yang independen, atau memang ada pesanan senada.

Jika ditilik dalam perkembangan demokrasi di era digital, transformasi terjadi melalui perubahan citizen menjadi netizen. Ruang publik dunia maya yang terfasilitasi melalui internet semakin memberikan pengaruh.

Tidak dipungkiri, terbentuk pula para opinion leader termasuk buzzer di dalamnya, yang mendengungkan sebuah posisi pesan tertentu.

Bedanya citizen selaku warga negara memiliki hak dan kewajiban yang melekat dalam konstitusi. Sedangkan netizen hanya memiliki hak tanpa diimbangi kewajiban yang menyertai. Kenapa begitu?

Dalam dunia maya ada aspek anonymous, menggunakan identitas palsu. Ada ruang gelap di  jagat digital, yakni soal rasa tanggung jawab sebagai kewajiban etik, maka mudah dipahami bilamana hoaks diproduksi dan dikonsumsi. 

Menariknya ada hal yang kemudian keluar konteks alias gagal paham, yang bisa jadi tidak disadari atau memang sebuah kesengajaan dalam menanggapi dua kasus tersebut.

Pada soal asap, sebagian netizen merasa perlu tindakan nyata dan langsung dilakukan pemerintah pusat. Sementara itu, sekelompok publik dunia maya menganggap hal itu pekerjaan daerah.

Pada tingkat yang ekstrem, asap di Sumatera dimaknai sebagai azab karena salah memilih pemimpin pada periode kontestasi yang lalu. Mengerikan.

Ternyata polarisasi politik tidak hilang, melainkan dipelihara oleh para buzzer untuk mempermainkan nalar netizen yang mudah tersulut pada kecintaan figur politik pilihannya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun