Mohon tunggu...
Yudhi Hertanto
Yudhi Hertanto Mohon Tunggu... Penulis - Simple, Cool and Calm just an Ordinary Man

Peminat Komunikasi, Politik dan Manajemen

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Pejabat Publik, Think Beyond, dan Kebijakan Publik

2 Juni 2019   14:19 Diperbarui: 2 Juni 2019   14:20 47
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Keberadaan sebuah pemerintahan tentu guna memastikan terjawabnya persoalan publik, dirumuskan menjadi kebijakan publik. Maka dengan begitu, kita seringkali melihat berbagai jawaban yang nampak Out of the Box, namun penuh ambigu bahkan nampak komplikasi dengan persoalan yang dihadapi.

Semisal, ketika harga daging naik, didorong alternatif konsumsi keong sawah. Atau, saat harga cabai tinggi, masyarakat diminta untuk menanam sendiri. Termasuk, ketika tarif tol disebut mahal, sebaiknya tidak masuk jalur tol. Bahkan dengan sedikit kelakar, bila harga listrik mahal, cabut meteran. Begitu juga saat defisit BPJS Kesehatan terjadi, solusinya menjaga kesehatan.

Tentu model argumentasi diatas, bisa jadi sebuah jawaban yang nampak masuk akal, tetapi ada cacat etika, karena tidak hadirnya empati kepada publik yang benar-benar berharap penyelesaian persoalan tersebut. Padahal pejabat publik diangkat sebagai penyelenggara bagi kebutuhan publik itu sendiri.

Dalam logika publik, ketika harga tiket pesawat naik, maka secara otomatis terjadi shifting moda transportasi. Tidak perlu menunggu jawaban para pemangku keputusan untuk berbicara dimuka umum, jika sebaiknya jangan naik pesawat, kalau tidak mau dapat harga tiket mahal.

Menyoal Tarif Pesawat Mahal

Secara pribadi, tarif mahal maskapai udara harus dilihat dalam konteks pengguna. Konsumen pesawat udara pernah sangat menikmati tarif murah, everyone can fly. Padahal sebelumnya, tiket pesawat sangatlah mahal, tentu saja dalam kaidah ekonomi hal tersebut berkaitan dengan tawaran produk yang hemat waktu, dan kenyamanan layanan.

Industri penerbangan memang mahal. Pembangunan bandaranya mahal, pembelian pesawatnya menggunakan nilai dollar, bahan bakarnya terkonversi dengan nilai tukar valuta asing, sementara pemasukan penjualan tiket dalam rupiah. Jelas ada potensi risiko, selisih nilai tukar di semua lini. Siasat bisnisnya jelas pada penetapan pricing -tarif.

Alternatif model transportasi selain udara, ada pilihan lain berupa jalur darat dan laut. Dengan format negara kepulauan, pilihan moda transportasi tentu diserahkan kepada publik, dengan konsekuensi implikatif. Jalur darat melelahkan, tetapi harga bisa lebih murah. 

Sementara jalur laut, mampu mencapai daerah-daerah remote. Sedangkan jalur udara menawarkan aspek praktis dalam waktu tempuh, berkorelasi dengan biaya yang dibutuhkan. Aspek supply and demand jadi pemicunya, dan invisible hand alias market akan membangun kesetimbangan alamiah. Pelaku bisnis pasti membentuk action plan marketing and operational, dalam menciptakan supply and demand sesuai dengan target yang diharapkan.

Dengan memahami model tersebut, jenis transportasi udara, merupakan salah satu alternatif dalam menjawab mobilitas manusia. Pemangku kebijakan harus memahami cara berpikirnya. Intervensi diperlukan manakala ada kemampuan untuk melakukan reservasi non komersial, alias kewajiban PSO -public service obligation melalui mekanisme subsidi negara via BUMN.

Terkait dengan potensi masuknya pesaing asing dalam kerangka kompetisi guna menghadirkan efisiensi dan menurunkan tiket? Tentu tidak selinier itu. Pertanyaan terbesarnya, siapa yang bisa menjamin hal itu bisa terjadi? Perang tarif pada banyak kasus bisnis justru mematikan persaingan, dan menghasilkan monopoli baru. Apalagi jika semua hal nantinya diselesaikan dengan template yang sama.

Pejabat publik perlu memahami Think Beyond sebagai antitesis Think as Usually.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun