Duka meliputi kita sebagai sebuah bangsa, kehilangan adalah perasaan yang dialami keluarga korban, dan ketakutan adalah wajah yang diciptakan melalui teror.
Bom meledak, korban berjatuhan, terjadi dengan cara diluar nalar, meledakkan diri. Lantas lontaran pertanyaan saling bersilangan, terkait, Apa? Siapa? Motif? Kenapa sekaligus Mengapa?
Tidak semua tanya bisa dijawab secara memuaskan, karena logika pelaku berbeda dari kelaziman cara pandang publik. Teror adalah sebuah upaya sadar dalam menebar kengerian, dengan cara yang tidak terbayangkan. Padahal kematian bukan hak prerogatif seorang manusia.
Pertanyaan paling dasar adalah, mengapa terror itu ada? Mengapa kekejaman itu diupayakan? Teror menjadi metode dalam konflik, dan pertentangan antar umat manusia adalah penyebab hubungan sebab-akibat secara dinamis. Apakah wajar? Jelas tidak, diluar rasionalitas.
Lalu kenapa umat manusia selalu dalam pertentangan dan konflik? Padahal perbedaan adalah hakikat alamiah, tidak bisa dipilih saat kelahiran. Jawabnya ada dipersoalan kepentingan. Hal terakhir ini, yang kemudian membelah komunalitas menjadi wilayah "kami vs mereka".
Perbedaan menjadi menebal dan tersekat. Mungkinkah damai terwujud? Prinsip awalnya membangun sikap saling percaya, tentu tidak mudah. Resolusi damai atas konflik selalu memakan waktu dan tenaga, plus menguras emosi.
Durasi negosiasi yang panjang, kerap berhadapan dengan hambatan psikologis. Bagaimana bila berulang? Menghapus memori kelam sulit dilakukan, tidak sekedar Ctrl + Alt + Del. Mengingat keburukan dampak konflik, harusnya menjadi pembelajaran atas kerusakan yang dapat ditimbulkan.
Problemnya, masing-masing pihak akan membangun stereotype dan stigma akan pihak lain. Termasuk melakukan klaim kebenaran secara tunggal menurut versi kepentingan masing-masing. Politik, ekonomi hingga keyakinan agama, bisa dilekatkan pada klaim tunggal tersebut.
Resolusi atas konflik yang melandasi kehadiran teror, hanya bisa dilakukan bila terdapat pemahaman secara bersama tentang keberagaman, serta penghargaan atas persaudaraan. Membangun ulang trust antar parapihak, membentuk kerangka rekonsiliasi tentu tidak semudah membalik telapak tangan.
Hanya dengan pemahaman mendalam akan makna "kekitaan" yang dapat menghantarkan perdamaian. Konsep kolaborasi mereduksi kompetisi, mengharuskan kita bekerjasama tanpa terkecuali. Akankah demikian? Mari kita bertanya pada diri sendiri masing-masing!.