Mohon tunggu...
Yudhi Hertanto
Yudhi Hertanto Mohon Tunggu... Penulis - Simple, Cool and Calm just an Ordinary Man

Peminat Komunikasi, Politik dan Manajemen

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Gelar Akademik "Abal-abal" dan "Kampus Bodong"

11 Oktober 2017   12:03 Diperbarui: 11 Oktober 2017   12:16 801
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Kisruh pengakuan akademik kembali terjadi, kali ini mencuat dengan permintaan maaf kasus yang menimpa Dwi Hartanto yang merupakan mahasiswa doctoral di TU Delft, yang mengaku post-doctoral Asisten Profesor di Technische Universiteit (TU) Delft dalam bidang aerospace.

Sebelumnya, kehebohan terjadi ketika tim EKA (Evaluasi Kinerja Akademik) Kemenristekdikti mengindikasikan terjadinya plagiarisme karya Disertasi Doktoral di UNJ. Lebih jauh lagi, pada periode tahun 2015 sempat dilakukan pembekuan kegiatan 243 perguruan tinggi, yang diangap serta dikategorikan menyimpang dalam kegiatan akademik perkuliahan serta pelaporan terkait.

Bila sudah demikian, apa yang menjadi pembelajaran bagi kita? Beberapa waktu lalu saya sempat ditanya berbagai kolega tentang kampus bodong dan gelar akademik abal-abal, maka jawab saya lihat keseimbangan eksosistem sebagai bentuk transaksi jual-beli. Besarnya jumlah kampus bodong berkorelasi dengan kebutuhan gelar akademik abal-abal.

Dengan demikian, problem terbesarnya memang ada didalam diri kita sebagai masyarakat. Terdapat kehausan akan gelar akademik, seolah gelar ini menjadi solusi tunggal, kemudahan mencari pekerjaan hingga meningkatkan prestise social. Problemnya solusi yang diharapkan tidak dicari dengan berkeringat, segalanya ingin dicapai secara instant tanpa berjuang.

Masyarakat Semu

Kita memang kerap terpedaya dengan rangkaian gelar akademik yang melekat pada sebuah nama, bahkan tanpa rekonfirmasi keabsahan gelar tersebut. Kesialuan secara psikologis ini memang bukan tanpa sebab, karena berdasarkan rerata angka partisipasi kasar perguruan tinggi ditahun 2015 masih berskisar 33.5% dari total populasi. Dengan demikian, status terhormat dan mulia bagi mereka penyandang gelar akademik dalam struktur masyarakat kita.

Disisi lain, era digital dan social media penuh dengan fenomena narsistik membuat kehausan pengakuan tersendiri, termasuk menciptakan branding kecerdasan dengan gelar akademik. Padahal sebenarnya, kepandaian serta kepintaran itu, terlihat dari dampak kehadiran seseorang bagi lingkungan sekitarnya. Kontribusi nyata lebih konkrit, dibanding jumlah gelar berderet.

Pada kondisi dimana kebodohan merajalela, orang pintar pun melakukan tindakan bodoh dan membodohi orang lain. Terbayangkan kah kita? Periode saat tahun politik segera berlangsung, akan banyak bermunculan nama kandidat lengkap dengan berbagai gelar yang menyertainya. Sementara itu, kinerja keberadaan wakil rakyat sampai saat ini masih memprihatinkan.

Tidak bisa dipungkiri, pemilik gelar akademik palsu dan abal-abal mendapatkan manfaat dari kebohongan yang dibuatnya. Secara nalar, kebohongan kecil akan ditutp dengan kebohongan lain untuk menyempurnakan kepalsuan. Apa yang terjadi dititik akhir? Timbulah kerusakan dan kehancuran akibat perilaku dan ulah tangan-tangan yang tidak bertanggungjawab.

Institusi pendidikan berperan penting, terutama untuk memastikan proses terhormat dibidang pendidikan tinggi berlangsung dalam jalur yang sesuai norma dan etika. Peran pemerintah melalui instansi dan departemen terkait wajib melakukan proteksi atas kecurangan. Secara keseluruhan, masyarakat harus mulai terbiasa melihat kejujuran dalam karya serta kerja  nyata lebih dari sekedar pembanding gelar akademik.

Publik harus pula diedukasi untuk tidak permisif terhadap penggunaan gelar palsu, termasuk menghilangkan secara bertahap budaya semu. Ketika dunia adalah panggung sandiwara penuh dengan lakon dan drama, sebaiknya kita tetap memiliki jatidiri untuk menampilkan kebaikan dan ketulusan sebagai cermin kepribadian dalam kejujuran. Berani jujur itu hebat kata KPK!.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun