Mohon tunggu...
YUDA PRAWIRA HADI KUSUMA
YUDA PRAWIRA HADI KUSUMA Mohon Tunggu... Mahasiswa S2 Mercubuana

Halo, Saya Yuda Mahasiswa S2 Magister Akuntansi Universitas Mercu Buana Jakarta. Fokus saya dalam Kompasiana ini membahas tentang Manajemen Pajak, yang di ampuh Oleh Prof. Dr. Apollo Selamat membaca apa yang saya tulis

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Yuda Prawira H. K_55524110022_Diskursus Manajemen Pajak pada Penagihan Hutang Pajak

3 Juni 2025   20:20 Diperbarui: 3 Juni 2025   20:20 97
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Penagihan utang pajak merupakan bagian integral dari sistem manajemen pajak negara. Proses ini mencerminkan wujud konkrit dari pengawasan fiskal dan pelaksanaan hukum perpajakan di Indonesia. Dalam implementasinya, penagihan pajak tidak hanya bersifat administratif, namun juga memuat aspek yuridis dan sosial yang kompleks.  Manajemen Pajak menekankan pentingnya mekanisme, dasar hukum, dan strategi manajerial dalam pelaksanaan penagihan utang pajak

Apa Itu Penagihan Utang Pajak?

Definisi dan Dasar Hukum
Menurut Pasal 1 angka 8 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2000 tentang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa (UU PPSP), utang pajak adalah pajak yang masih harus dilunasi termasuk sanksi administrasi berupa bunga, denda, atau kenaikan, sebagaimana tercantum dalam Surat Ketetapan Pajak atau surat sejenis yang sah berdasarkan peraturan perundang-undangan perpajakan

Penagihan pajak sendiri didefinisikan sebagai serangkaian tindakan yang dilakukan oleh otoritas pajak terhadap penanggung pajak agar melunasi utang pajak dan biaya penagihan pajak. Tindakan ini meliputi:

Penagihan pajak merupakan suatu rangkaian tindakan yang dilakukan secara sistematis dan terstruktur oleh otoritas perpajakan, yaitu Direktorat Jenderal Pajak (DJP), terhadap penanggung pajak atau pihak yang bertanggung jawab atas utang pajak. Tujuan utama dari proses ini adalah untuk memastikan pelunasan kewajiban pajak yang belum terpenuhi beserta seluruh biaya yang timbul dari proses penagihan, termasuk biaya administrasi, bunga keterlambatan, dan sanksi lainnya yang diatur dalam peraturan perundang-undangan perpajakan. Tindakan-tindakan penagihan tersebut dilakukan berdasarkan ketentuan hukum yang berlaku, dan dapat dijalankan secara bertahap sesuai respons dari wajib pajak yang bersangkutan.

Adapun langkah-langkah konkret dalam penagihan ini meliputi beberapa tahapan sebagai berikut:

  • Surat Teguran, yaitu surat resmi yang diterbitkan untuk memberikan peringatan awal kepada wajib pajak bahwa terdapat kewajiban perpajakan yang belum diselesaikan dan harus segera ditindaklanjuti dalam jangka waktu tertentu.

  • Surat Paksa, yakni surat perintah resmi yang memiliki kekuatan hukum setara dengan putusan pengadilan, berfungsi untuk memaksa wajib pajak melunasi utang yang tertunggak jika sebelumnya tidak ada tanggapan terhadap surat teguran.

  • Penyitaan, yaitu tindakan hukum yang memberikan wewenang kepada jurusita pajak untuk mengambil alih dan menahan sementara aset milik wajib pajak guna menjamin pelunasan utang pajak.

  • Penyanderaan (gijzeling), yaitu upaya terakhir berupa pembatasan kebebasan fisik terhadap penanggung pajak yang tidak kooperatif, sebagaimana diatur dalam ketentuan hukum pidana pajak.

  • Pencegahan, yaitu larangan bagi wajib pajak untuk bepergian ke luar negeri selama proses penagihan belum diselesaikan, sebagai bentuk kontrol agar yang bersangkutan tetap berada dalam yurisdiksi hukum Indonesia.

  • Penjualan Barang Sitaan melalui Lelang, yaitu pelaksanaan eksekusi terakhir apabila wajib pajak tetap tidak melunasi utang meskipun telah dilakukan penyitaan, di mana barang-barang yang telah disita akan dijual secara terbuka kepada publik melalui kantor lelang negara untuk memperoleh dana pelunasan pajak.

Berikut adalah Alur Pemeriksaan Lapangan 

Mengapa Penagihan Utang Pajak Diperlukan?

Fungsi Fiskal dan Kepatuhan
Penagihan utang pajak sangat penting bagi keberlanjutan fungsi fiskal negara. Dalam konteks APBN, penerimaan pajak adalah tulang punggung pembiayaan pembangunan. Ketika utang pajak tidak ditagih, negara kehilangan sumber pendapatan vital. Selain itu, tindakan ini menjadi pendorong kepatuhan sukarela (voluntary compliance), sekaligus bentuk penegakan hukum terhadap kepatuhan paksa (enforced compliance)Kirchler et al., 2008.Lebih jauh, penagihan pajak menjadi instrumen untuk menjaga kredibilitas fiskal. Sebab, utang pajak yang tidak tertagih akan menjadi piutang negara yang membebani neraca fiskal. Dalam banyak kasus, piutang pajak ini dapat menghambat perencanaan anggaran negara maupun daerah jika tidak dikelola secara aktif dan terstruktur 

Perlunya Kepastian Hukum dan Kepatuhan

Penagihan utang pajak diperlukan karena merupakan bentuk dari penguatan sistem kepatuhan pajak. Dalam kerangka Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP), penagihan menjadi alat untuk memastikan bahwa ketetapan pajak yang telah final dan memiliki kekuatan hukum tetap dapat dilaksanakan, bahkan jika wajib pajak tidak secara sukarela melunasinya.

Jika tidak ada mekanisme penagihan yang jelas dan tegas, maka akan terjadi ketimpangan antara wajib pajak patuh dan yang tidak patuh. Penagihan juga penting agar penerimaan negara dari sektor pajak tidak terganggu.

Dasar Hukum dan Prosedural
Penagihan dilakukan berdasarkan dokumen resmi seperti STP (Surat Tagihan Pajak), SKPKB (Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar), SKPKBT (Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan), serta putusan keberatan atau banding yang telah berkekuatan hukum tetap. Bila wajib pajak tidak melakukan pembayaran dalam jangka waktu satu bulan setelah penerbitan ketetapan pajak, proses penagihan segera dimulai

Peringatan Moral dan Sosial

Penagihan utang pajak juga mengemban fungsi moral sebagai peringatan kepada seluruh wajib pajak akan pentingnya kontribusi terhadap negara. Pajak adalah sumber utama pembiayaan publik, dan kegagalan untuk membayar pajak secara sadar merupakan bentuk pelanggaran atas tanggung jawab sosial dan kebangsaan.

Berikut adalah Alur dan Jadwal Pelaksanaan Penagihan Pajak 

Modul 10 Proff Apollo
Modul 10 Proff Apollo

1. Surat Teguran

Surat Teguran diterbitkan jika wajib pajak tidak melunasi utang pajak setelah 7 hari sejak jatuh tempo pembayaran. Ini adalah langkah awal sebagai bentuk peringatan administratif yang mendorong wajib pajak agar segera melunasi atau menyampaikan klarifikasi kepada otoritas pajakPMK 189/PMK.03/2020.

Tindakan Wajib Pajak:

  • Melaporkan SPT yang belum disampaikan

  • Melakukan klarifikasi ke Kantor Pelayanan Pajak

  • Melakukan pelunasan utang bila memang ada kekurangan bayar

2. Surat Paksa

Surat Paksa dikeluarkan apabila surat teguran tidak diindahkan. Surat ini memiliki kekuatan hukum seperti putusan pengadilan dan berisi perintah kepada penanggung pajak untuk melunasi utang pajak dalam waktu 21 hari sejak diterbitkanUU PPSP, Pasal 7.

Surat Paksa wajib disampaikan oleh Jurusita Pajak kepada penanggung pajak secara langsung atau kepada pihak yang sah mewakilinya. Penyampaian ini menjadi dasar hukum untuk tindakan berikutnya jika tidak ada tanggapan dari wajib pajak.

3. Penyitaan

Jika setelah diberitahu surat paksa penanggung pajak tetap tidak melunasi utang pajak dalam waktu 2x24 jam, maka jurusita pajak dapat melakukan penyitaan terhadap barang milik wajib pajak. Barang yang dapat disita meliputi:

  • Barang bergerak: uang tunai, mobil, logam mulia, saham

  • Barang tidak bergerak: tanah, bangunanKUHAP Pasal 38--48.

Manajemen Pajak atas Penyitaan:

  • Wajib pajak sebaiknya segera melakukan komunikasi terbuka dengan KPP

  • Menunjuk kuasa hukum atau konsultan pajak

  • Mengupayakan pelunasan sebagian jika belum mampu penu

Lelang

Jika utang tetap tidak dibayar dalam 14 hari setelah penyitaan, maka barang sitaan akan dilelang oleh pejabat lelang negara. Lelang dilakukan secara terbuka dan diumumkan dalam media publik. Hasil lelang akan digunakan untuk menutupi utang pajak dan biaya penagihanPMK No. 213/PMK.06/2020.

Aspek Etis dalam Lelang:
Lelang sebaiknya menjadi pilihan terakhir. Dalam praktiknya, beberapa kasus menunjukkan pelelangan dilakukan tanpa mempertimbangkan nilai sentimental atau produktivitas barang tersebut. Oleh karena itu, dibutuhkan kepekaan etika dalam praktik ini.

5. Pengalaman Praktis (Kasus Nyata)

Sebagai praktisi perpajakan, saya pernah mendampingi klien yang mengalami penagihan karena utang PPN atas jasa konstruksi. Klien merasa sudah membayar, tetapi ternyata terjadi kesalahan input oleh bendahara proyek sehingga tidak terlapor dalam SPT Masa. Akibatnya, muncul SKPKB dan STP yang menjadi dasar surat paksa.

Setelah menerima surat teguran dan paksa, klien panik dan mendekati saya. Saya menganalisis dokumen dan menemukan bahwa ada pembayaran yang tidak terkoneksi ke billing system. Setelah mengajukan permohonan klarifikasi dan melakukan pembayaran selisih yang tertunda, proses penyitaan berhasil dihentikan. Pengalaman ini menunjukkan pentingnya keterbukaan informasi, manajemen dokumen yang baik, serta pendekatan komunikasi antara wajib pajak dan fiskus.

Analisis Kritis dan Etika Penagihan

Dalam pelaksanaan penagihan utang pajak, penting untuk tidak hanya melihat sisi legal formal semata, tetapi juga meninjau dimensi moral dan etika yang menyertainya. Penagihan yang tidak disertai dengan prinsip kehati-hatian dan keadilan berpotensi menimbulkan keresahan sosial, penurunan kepercayaan publik, hingga resistensi wajib pajak terhadap sistem perpajakan itu sendiri. Oleh karena itu, analisis kritis terhadap praktik penagihan pajak sangat dibutuhkan untuk memastikan bahwa proses ini tidak hanya sah secara hukum, tetapi juga etis secara sosial.

1. Minimnya Empati Fiskus

Salah satu kritik utama dalam praktik penagihan pajak di lapangan adalah rendahnya tingkat empati dari fiskus terhadap kondisi ekonomi riil wajib pajak. Dalam banyak kasus, tindakan penagihan dilakukan secara kaku, mekanistik, dan agresif tanpa adanya pendekatan dialogis atau analisis mendalam terhadap kemampuan finansial wajib pajak. Terlebih pasca pandemi COVID-19 atau saat terjadi guncangan ekonomi global, banyak pelaku usaha kecil dan menengah yang mengalami penurunan pendapatan signifikan dan berada pada titik kritis dalam mempertahankan kelangsungan usahanya. Jika penagihan dilakukan secara paksa dalam kondisi seperti itu, bukan hanya membebani wajib pajak secara psikologis dan finansial, tetapi juga dapat mematikan usaha yang sebenarnya masih potensial untuk pulih. Dalam konteks ini, absennya pendekatan humanis dari fiskus mencerminkan kekurangan dalam sistem manajemen pajak yang responsif terhadap realitas ekonomi masyarakat.

2. Kurangnya Transparansi dalam Prosedur

Kritik kedua yang sering muncul adalah kurangnya transparansi dalam prosedur penetapan dan penagihan utang pajak. Tidak sedikit wajib pajak yang mengaku menerima surat paksa atau pemberitahuan penagihan tanpa pemahaman yang cukup tentang dasar perhitungannya. Proses akumulasi bunga keterlambatan, pengenaan denda, hingga penghitungan pokok utang seringkali tidak disertai dengan penjelasan rinci yang mudah dipahami. Hal ini menimbulkan kecurigaan dan ketidakpercayaan terhadap integritas lembaga pajak. Ketika wajib pajak merasa "dihukum" atas dasar yang tidak sepenuhnya dipahami, maka resistensi terhadap kepatuhan akan semakin meningkat. Padahal, dalam prinsip administrasi publik yang baik, transparansi adalah salah satu pilar utama untuk menciptakan legitimasi dan akuntabilitas dalam pelaksanaan kebijakan fiskal.

3. Penerapan Kekuasaan yang Berlebihan

Isu berikutnya adalah penerapan kewenangan otoritas pajak yang sering kali dinilai berlebihan. Praktik seperti penyitaan barang atau pelelangan aset wajib pajak sering dilakukan terlalu cepat---bahkan sebelum proses keberatan atau banding selesai diproses secara tuntas. Padahal, sistem perpajakan memberikan ruang legal bagi wajib pajak untuk mengajukan keberatan atas ketetapan pajak dalam jangka waktu tertentu. Ketika hak tersebut diabaikan dan tindakan eksekusi dipaksakan, maka hal ini melanggar asas due process of law dan mencederai prinsip proporsionalitas dalam hukum administrasi pajak. Akibatnya, banyak wajib pajak yang merasa diperlakukan tidak adil, bahkan terintimidasi oleh pendekatan koersif yang digunakan. Bila kondisi ini dibiarkan berlarut-larut, maka akan tercipta iklim perpajakan yang menakutkan dan menjauhkan wajib pajak dari prinsip voluntary compliance yang diidamkan.

Daftar Pustaka

  • Direktorat Jenderal Pajak. (2020). Peraturan Menteri Keuangan Nomor 189/PMK.03/2020 tentang Tata Cara Penagihan Pajak.

  • Direktorat Jenderal Pajak. (2020). Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2000 tentang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa (UU PPSP).

  • Direktorat Jenderal Kekayaan Negara. (2020). PMK No. 213/PMK.06/2020 tentang Petunjuk Pelaksanaan Lelang.

  • Kirchler, E., Hoelzl, E., & Wahl, I. (2008). Enforced versus voluntary tax compliance: The "slippery slope" framework. Journal of Economic Psychology, 29(2), 210--225. https://doi.org/10.1016/j.joep.2007.05.004

  • KUHAP (Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana). (1981). Bab V Pasal 38--48 tentang Penyitaan

  • Prof. Apollo, Dr,M.Si.Ak. Manajemen Pajak pada Penagihan Utang Pajak [PowerPoint slides]. Program Studi Akuntansi, Universitas Mercu Buana

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun