"Yang penting publik tahu!"
"Oh, tapi datanya jangan ya, itu sensitif."
"Lha terus? Bukannya udah dipublish kemarin di medsos?"
"Ooops, itu kan cuma buat laporan kinerja..."
Beginilah percakapan fiktif yang sayangnya seringkali terlalu dekat dengan kenyataan. Dalam era digital yang katanya serba transparan ini, justru kita melihat ironi: data publik jadi milik pribadi, data pribadi malah dipamerkan seperti brosur diskon akhir tahun.
Lucu? Tidak. Tragis? Sangat.
Mari kita buka babak kisah ini dengan satu pertanyaan: Apakah data publik masih publik, dan data pribadi benar-benar pribadi?
Ada pejabat yang marah saat ditanya soal anggaran, padahal itu data publik. Tapi di waktu yang sama, instansi yang sama justru mengunggah data pegawai, lengkap dengan NIK dan alamat rumahnya, di situs resmi. Ironi ini bukan hanya membingungkan, tapi juga membahayakan.
Publik pun dibuat linglung. Mana yang seharusnya bisa diakses? Mana yang seharusnya dilindungi? Dan kenapa pula ketika permohonan informasi diajukan secara resmi, jawabannya "tidak tahu", "belum tersedia", atau "datang saja minggu depan, kami rapat internal".
Dan ya, seperti yang ditulis oleh Kak Eko Adri Wahyudiono dalam komentarnya saat tayang artikel penulis Ketika Data Publik Tak Lagi Publik: Potensi Maladministrasi Hingga Korupsi Akan Selalu Mengintai Baca: https://www.kompasiana.com/yudaningsih/68529c72ed64157dce5adfe2/ketika-data-publik-tak-lagi-publik-potensi-maladministrasi-hingga-korupsi-akan-selalu-mengintai
"Luar biasa permohonan informasi publik dan banyak yang mangkir dalam sidang."
"Apa karena tidak adanya sanksi pidana kurungan ya, jadi dianggap remeh."
Tepat sekali. Sebab tanpa gigi hukum, keterbukaan hanya jadi jargon yang loyo. Tanpa sanksi, keengganan berubah jadi kebiasaan.
Kita sering bicara tentang digitalisasi pelayanan, e-government, hingga transformasi data. Tapi terlalu jarang kita bicara soal etika informasi.
Siapa yang bertanggung jawab jika data pribadi seseorang dipajang tanpa izin?
Apa konsekuensinya jika informasi publik ditutup-tutupi demi "keamanan institusi"?
Lalu masyarakat---yang seharusnya dilindungi hak informasinya---malah harus berjibaku mengisi formulir, bolak-balik, dan mendengar kalimat pamungkas,
"Kami belum bisa berikan, ini rahasia instansi."
Padahal yang diminta hanya daftar anggaran belanja ATK.
Komisi Informasi...lembaga yang semestinya menjadi wasit dalam perkelahian antara publik dan badan publik---masih belum dipahami sepenuhnya oleh masyarakat. Bahkan, ada yang baru tahu bahwa Komisi ini eksis setelah viral sengketa informasi antara warga dan sebuah dinas yang menolak membuka dokumen kontrak proyek.
Maka benar adanya, seperti yang disampaikan oleh Kak Eko dalam komentarnya:
"Mantap artikel Komisi Informasi yang masih belum dipahami oleh banyak pihak. Salam hormat!"
Kami terima dengan penuh semangat dan tanggung jawab.
Jangan sampai keterbukaan informasi jadi Stand-Up Comedy. Transparansi bukan lelucon. Tapi jika terus dikelola dengan setengah hati, ditanggapi dengan ogah-ogahan, dan tanpa perlindungan etika serta sanksi, maka keterbukaan informasi hanya akan jadi panggung satir:
yang lucu, tapi bikin miris.
yang terbuka, tapi tak bisa diakses.
yang disebut "hak publik", tapi dikuasai segelintir.
Mari berhenti mempermainkan makna keterbukaan.
Mari jaga data seperti menjaga harga diri: tahu kapan harus ditampilkan, kapan harus dijaga.
Dan mari kita dukung peran Komisi Informasi---bukan sekadar untuk tahu, tapi untuk mewujudkan keadilan dalam informasi.
Karena keterbukaan bukan tujuan akhir. Ia adalah jalan menuju demokrasi yang sehat.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI