Kita sering bicara tentang digitalisasi pelayanan, e-government, hingga transformasi data. Tapi terlalu jarang kita bicara soal etika informasi.
Siapa yang bertanggung jawab jika data pribadi seseorang dipajang tanpa izin?
Apa konsekuensinya jika informasi publik ditutup-tutupi demi "keamanan institusi"?
Lalu masyarakat---yang seharusnya dilindungi hak informasinya---malah harus berjibaku mengisi formulir, bolak-balik, dan mendengar kalimat pamungkas,
"Kami belum bisa berikan, ini rahasia instansi."
Padahal yang diminta hanya daftar anggaran belanja ATK.
Komisi Informasi...lembaga yang semestinya menjadi wasit dalam perkelahian antara publik dan badan publik---masih belum dipahami sepenuhnya oleh masyarakat. Bahkan, ada yang baru tahu bahwa Komisi ini eksis setelah viral sengketa informasi antara warga dan sebuah dinas yang menolak membuka dokumen kontrak proyek.
Maka benar adanya, seperti yang disampaikan oleh Kak Eko dalam komentarnya:
"Mantap artikel Komisi Informasi yang masih belum dipahami oleh banyak pihak. Salam hormat!"
Kami terima dengan penuh semangat dan tanggung jawab.
Jangan sampai keterbukaan informasi jadi Stand-Up Comedy. Transparansi bukan lelucon. Tapi jika terus dikelola dengan setengah hati, ditanggapi dengan ogah-ogahan, dan tanpa perlindungan etika serta sanksi, maka keterbukaan informasi hanya akan jadi panggung satir:
yang lucu, tapi bikin miris.
yang terbuka, tapi tak bisa diakses.
yang disebut "hak publik", tapi dikuasai segelintir.
Mari berhenti mempermainkan makna keterbukaan.
Mari jaga data seperti menjaga harga diri: tahu kapan harus ditampilkan, kapan harus dijaga.
Dan mari kita dukung peran Komisi Informasi---bukan sekadar untuk tahu, tapi untuk mewujudkan keadilan dalam informasi.
Karena keterbukaan bukan tujuan akhir. Ia adalah jalan menuju demokrasi yang sehat.