Di tengah hiruk-pikuk pembangunan kota yang kian masif dan kompleks, suara akademisi yang menggugah kesadaran akan pentingnya hukum sebagai landasan utama pengelolaan kota menjadi semakin relevan. Suara itu datang dari Dr. Inna Junaenah, akademisi kelahiran Bandung, 15 September 1978, yang sejak dua dekade terakhir telah mengabdikan diri di Departemen Hukum Tata Negara, Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran.
Sejak Desember 2003, Inna tak hanya hadir sebagai pengajar, tetapi juga sebagai pemikir progresif yang konsisten mengangkat isu hak asasi manusia (HAM) dan tata kelola negara ke dalam ruang-ruang diskursus akademik dan kebijakan publik. Melalui keterlibatannya di Paguyuban Hak Asasi Manusia dan Pusat Studi Kebijakan Negara (HTN), Inna terus mendorong pemikiran kritis tentang pentingnya melokalkan HAM dalam konteks yang lebih dekat: kota.
Pemikiran itu menemukan bentuk utuhnya dalam disertasi doktoral bertajuk Legal Analysis on Public Participation in Urban Development Decision-Making Processes in Indonesia yang ia rampungkan di Universiti Teknologi MARA (UiTM), Shah Alam, Malaysia. Lewat karya ilmiah ini, Inna mengajak kita semua untuk menimbang ulang: bagaimana hukum perkotaan di Indonesia bisa tumbuh, bukan hanya sebagai aturan teknis, tetapi sebagai manifestasi keadilan sosial dan partisipasi warga.
Dorongan utama Dr. Inna dalam membumikan hukum perkotaan tidak lahir dari ruang kosong. Ia berpijak pada komitmen Indonesia terhadap Sustainable Development Goals (SDGs) dan New Urban Agenda (NUA) yang menuntut adanya instrumen hukum yang jelas, adil, dan akuntabel dalam tata kelola kota.
Sayangnya, hingga saat ini Indonesia belum memiliki satu pun undang-undang khusus yang secara komprehensif mengatur soal perkotaan. Sebuah ironi, mengingat laju urbanisasi di negeri ini terus melaju cepat. Memang telah terbit Peraturan Pemerintah Nomor 59 Tahun 2022 tentang Perkotaan, namun regulasi ini lebih merupakan turunan teknis dari amanat UU Pemerintahan Daerah, bukan kerangka hukum utama yang menyeluruh.
Di sisi lain, kebijakan nasional justru telah menunjukkan perhatian besar pada pembangunan perdesaan melalui Undang-Undang Desa Tahun 2014. Hal ini menjadi kontras yang memprihatinkan. Ketimpangan perhatian ini membuka ruang bagi kritik Dr. Inna: mengapa pembangunan desa diberikan landasan hukum kokoh, sementara kota --- yang jadi episentrum pertumbuhan dan krisis --- justru berjalan tanpa kompas hukum yang kuat?
Satu hal yang menjadi benang merah pemikiran Dr. Inna adalah pentingnya mengintegrasikan perspektif HAM ke dalam kerangka hukum perkotaan. Bagi Inna, kota bukan sekadar ruang fisik dengan gedung-gedung pencakar langit dan jalan-jalan padat. Kota adalah ruang hidup bagi manusia yang hak-haknya harus dijamin, termasuk hak atas lingkungan yang sehat, partisipasi dalam perencanaan tata kota yang lebih baik.
Dengan penuh rasa bangga dan bahagia, kami mengucapkan:
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!