Di tengah hiruk-pikuk pemberitaan dan simpang-siur opini di media sosial, drg. Hj. Moernisari S angkat bicara dengan tenang namun tegas. Ia merasa perlu meluruskan isu yang selama ini dipelintir seolah-olah menyasar pada intoleransi atau pelarangan beribadah. Padahal, menurutnya, substansi permasalahan ini jauh dari ranah agama. Ia menyebut, "Ini bukan pelarangan ibadah. Ini soal pengalihan fungsi dan prosedur perizinan yang tidak ditempuh sebagaimana mestinya."
Sebagai warga yang turut menyuarakan aspirasi melalui Forum Komunikasi Warga Arcamanik Berbhineka, drg. Moernisari menegaskan bahwa Gedung Serba Guna (GSG) Arcamanik di Jalan Sky Air Nomor 19, Kota Bandung bukan fasilitas privat yang bisa dialihfungsikan sepihak.
"GSG adalah janji pengembang kepada kita sejak awal perumahan ini dibuka. Tercantum jelas dalam siteplan dan hingga kini terdaftar sebagai fasilitas umum (FASUM) di wilayah Arcamanik, Kota Bandung. Ini bagian dari hak warga, bukan milik golongan tertentu."
Permasalahan Inti: Prosedural, Bukan Sektarian
Moernisari menyayangkan bahwa isu ini digeser ke arah sentimen agama. "Kita semua hidup berdampingan selama lebih dari 35 tahun di Arcamanik Endah. Tidak pernah ada masalah dalam toleransi. Tapi dalam 3 tahun terakhir, kerukunan ini terganggu karena pemaksaan kehendak, tanpa izin resmi, dan tanpa komunikasi jujur dengan warga sekitar," tuturnya.
Ia merujuk pada Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 9 dan 8 Tahun 2006, bahwa pendirian rumah ibadah tidak cukup hanya dengan niat baik. Harus ada izin dari warga sekitar, RT/RW, hingga wali kota, disertai bukti administratif yang sah. "Fakta di lapangan menunjukkan belum ada izin itu. Yang ada justru dugaan manipulasi data, informasi sepihak kepada warga, dan ketidakterbukaan dalam prosesnya," jelasnya.
GSG: Wujud Komitmen Kolektif, Bukan Ruang Eksklusif
Sebagai dokter dan tokoh masyarakat, drg. Moernisari mengajak seluruh pihak untuk tidak mengorbankan kepentingan bersama demi kepentingan kelompok. "GSG dibangun untuk menampung kegiatan sosial, budaya, kemasyarakatan semua warga. Ia simbol keterbukaan, bukan klaim sepihak. Maka saat difungsikan secara eksklusif, apalagi permanen sebagai rumah ibadah, itu sudah menyalahi maksud awalnya."
Lebih lanjut ia menyampaikan, harga rumah yang warga beli di kawasan Arcamanik sudah termasuk kontribusi untuk fasum dan fasos. Maka warga berhak mengawal dan memperjuangkan penggunaannya agar tetap sesuai tujuan.
Pesan Terbuka: Jangan Sebar Hoaks, Jangan Putarbalik Fakta
drg. Moernisari juga meminta agar wacana yang berkembang di media sosial tidak dikonsumsi secara mentah. “90 persen informasi di medsos saat ini hoaks atau disusupi narasi yang menyesatkan. Kalau ingin tahu kebenaran, datanglah ke RT, RW, Lurah, atau Camat setempat. Kami terbuka untuk klarifikasi,” ungkapnya.
Ia berharap masyarakat lebih bijak menyikapi isu ini. "Silakan berdialog, tapi jangan memprovokasi. Silakan beribadah, tapi taati aturan. Jangan jadikan agama sebagai tameng untuk menjustifikasi pelanggaran prosedur."
Menutup celah konflik, menjaga nilai kebersamaan
Melalui refleksi ini, drg. Hj. Moernisari S ingin mengajak semua pihak kembali kepada semangat awal berdirinya Arcamanik: hidup dalam keberagaman, dengan aturan yang disepakati bersama. Ia percaya, kerukunan hanya bisa tumbuh dalam kejujuran, ketertiban, dan penghormatan terhadap hak semua warga.
"Kerukunan tidak bisa dibangun di atas manipulasi dan kebohongan. Tapi dengan keadilan, keterbukaan, dan rasa saling percaya. Mari kita rawat Arcamanik bersama." – drg. Hj. Moernisari S
Refleksi berdasarkan aspirasi warga Forum Komunikasi Arcamanik Berbhineka
Untuk menyampaikan fakta, meredam spekulasi, dan memperkuat komitmen pada tata tertib bersama.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI