Di balik sejarah panjang perjuangan bangsa, nama RA Kartini dan Nyai Ahmad Dahlan (Nyai Walidah) menjadi dua sosok perempuan yang tidak hanya hidup di masa yang sama, tetapi juga menyalakan api perubahan dalam koridor yang berbeda. Bila Kartini dikenal melalui surat-suratnya yang menyuarakan emansipasi, maka Nyai Walidah tampil dalam senyap, menyusuri jalan dakwah dan pendidikan dengan tekad yang tak kalah membara.
Dua Api, Satu Cahaya
RA Kartini, putri Jepara, lahir dari kalangan bangsawan Jawa yang gelisah oleh keterkungkungan adat dan rendahnya akses pendidikan bagi perempuan. Ia menuliskan keresahan itu dalam surat-suratnya yang kelak menjadi kitab suci gerakan perempuan. Di balik tembok pingitan, Kartini membangun dunia pemikiran. Ia membaca, menulis, dan merenung. "Habis Gelap Terbitlah Terang" bukan sekadar judul, tapi nyala harapan bagi kaum perempuan untuk mendapat tempat yang setara. Biografi RA Kartini bisa disimak lebih lanjut melalui link Biografi RA Kartini
Sementara itu, di Yogyakarta, lahir Nyai Walidah---sosok perempuan pendamping pendiri Muhammadiyah, KH Ahmad Dahlan. Perannya sering dipinggirkan dalam sejarah resmi, namun jejaknya membentang dalam gerak nyata. Ia mendirikan Sopo Tresno, organisasi perempuan pertama di Muhammadiyah, yang kelak menjadi Aisyiyah. Ia juga aktif mendidik perempuan, menyiapkan guru, bahkan menjadi orator dalam Kongres Perempuan Indonesia 1928. Tak hanya menjadi istri seorang ulama besar, Nyai Walidah adalah pemikir, penggerak, sekaligus organisator ulung. Biografi Nyai Walidah bisa disimak lebih lanjut melalui link Biografi Nyai Walidah
Perbedaan jalan yang dipilih dua tokoh ini justru memperlihatkan betapa luas dan dalamnya makna perjuangan perempuan. Kartini memperjuangkan kesadaran, membuka jendela bagi perempuan Indonesia agar melihat dunia dengan cara baru. Ia menabur benih. Sedangkan Nyai Walidah menyiram benih itu dengan kerja nyata---mendirikan sekolah, menyiapkan kader, dan membentuk struktur organisasi perempuan yang berdaya dan mandiri.
Kartini mengkritik feodalisme, sementara Nyai Walidah menantang patriarki dalam ruang religius yang konservatif. Keduanya sama-sama berani melawan arus, namun dengan cara yang khas.
RA Kartini wafat di usia muda, namun api yang dinyalakannya tak padam. Surat-suratnya terus menginspirasi. Di sisi lain, Nyai Walidah hidup hingga era kemerdekaan dan bahkan diakui sebagai Pahlawan Nasional pada 1971. Warisan organisasi yang ia bangun masih berdiri kokoh hingga kini, menjangkau pendidikan, kesehatan, hingga pemberdayaan perempuan.
Kisah mereka menjadi refleksi penting bagi perempuan masa kini: bahwa perjuangan bukan melulu soal mimbar besar atau gelar akademik, tapi tentang keberanian berpikir dan ketekunan mengabdi. Kartini memberi kita semangat untuk bertanya, berpikir, dan merindukan keadilan. Nyai Walidah mengajarkan kita pentingnya menjawab panggilan zaman dengan kerja nyata dan keberanian untuk memimpin.
Epilog
Kini, ketika akses pendidikan terbuka lebar dan ruang-ruang publik lebih inklusif, tantangan perempuan tetap ada: kekerasan berbasis gender, ketimpangan akses ekonomi, hingga diskriminasi di berbagai lini. Di tengah itu, semangat Kartini dan Nyai Walidah terus relevan. Mereka bukan sekadar simbol, melainkan inspirasi konkret tentang bagaimana perempuan bisa hadir sebagai agen perubahan.
Perempuan masa kini tidak perlu memilih antara Kartini atau Nyai Walidah. Keduanya hadir sebagai inspirasi yang saling melengkapi: berpikir kritis sekaligus bertindak nyata, bersuara dan bergerak, membaca dunia dan menuliskannya kembali dengan tangan sendiri.
Kita butuh lebih banyak Kartini yang berani mempertanyakan, dan lebih banyak Nyai Walidah yang berani mengorganisasi. Karena perempuan Indonesia bukan hanya penonton sejarah, melainkan pembuatnya.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI