Mohon tunggu...
Yuda Y. Putra
Yuda Y. Putra Mohon Tunggu... Sales - Kita semua punya kengan yang indah di masa lalu, buktinya masih bisa kangen pada itu.

Mimpiku semalam, kau datang membawa seorang bayi di tanganmu, uh, tidak aku tidak mau. Bawa kembali!

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Tentang Sekolah yang Gagal Memandirikan Bangsa

5 Oktober 2016   21:14 Diperbarui: 5 Oktober 2016   21:43 226
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Pendidikan kini tidak lagi tentang menjadi kebutuhan  menjadi tahu, melainkan lebih dari itu, pendidikan ditempuh karena tanpanya, seseorang akan sulit untuk bertahan didunia modern. Pekerjaan dan professi, apalagi kebutuhan yang lebih  khusus untuk memberikan seseorang penghargaan dimata masyarakat, dengan berkarya misalnya.

Pada permulaanya, kita mengenal taman kanak-kanak, dan akhir-akhir ini kita juga mengenal play group yaitu; pengajaran persiapan untuk sekolah. Disamping tahap akhir sekolah, yaitu sma, pendidikan tinggi atau lanjutan di universitas maupun di institut, mengambil peran yang kini semakin mendesak lulusan sma yang kian hari kian kalah persaingan.

Hal ini mungkin karena laju penduduk yang bertambah dan out put sekolah yang tidak memadai untuk memandirikan siswanya. Tugas utama sekolah adalah mencerdaskan anak bangsa, seperti yang tercantum dalam perundang-undangan, namun, mencerdaskan yang dimaksud ini bukan berarti lantas memberikan peluang kemungkinan bahawa kurikulum berseberangan atau malah memiliki konsekuensi sebaliknya.

Kecerdasan sebenarnya tidaklah penting bagi kehidupan seseorang, namun hal lain. walau psikolog dan pakar-pakar kecerdasan mengambil bentuk kecerdasan dengan ukuran IQ, EQ dan SQ, yang pengukurannya menggunakan angket quisoner ini, sebenarnya, hanyalah pengukuran yang semu, bukan hanya semu melainkan pengukuran tidaklah ada gunanya. Kecerdasan dalam tiga bentuk itupun, memiliki kepentingan sendiri untuk keberadaannya, yaitu; menyaring dan mengelompokkan bibit-bibit unggul sehingga dapat dijadikan rujukan, mana manusia yang tepat untuk pekerjaan tertentu.

Outpun sekolah, dari tahap dasar hingga akhir, diindikatorkan dengan nilai, dalam mendapatkan pendidikan yang berkualitas, seorang siswa maupun siswi dihadapkan pada kategorisasi. Seperti yang kita temui dalam ujian masuk sekolah, sekolah yang berkualitas cenderung menginginkan murid dengan kecerdasan terukur, hal ini mungkin adalah alasan bagi peminat yang semakin banyak pada sekolah yang bergengsi. Gengsi instasi, pamor sekolah, ditentukan pada siswa-siswinya, yang jika sekolah berkualitas, mendapatkan murid yang tidak berkualitas terukur, maka ketika menjadi luousan akan mengangu citra sekolah. Dengan demikian menjadi masuk akal jika ujian masuk sekolah masih diterapkan, karena demi kepentingan pamor sekolah.

Pengajaran-pengajaran yang sedimikian rupa, dihadapkan dengan issu-issu yang muncul dalam kehidupan bermasyarakat, seperti pekerjaan, teknologi, etika dan lain sebaginya, mempengaruhi kurikulum secara umum, dan muatan lokal secara khusus. Institusi pendidikan diberikan tugas yang terlalu berganda, sehingga, timbul kesan, sekolah harus mengajarkan dan menguji  segalanya.


Kecenderungan untuk fokus pada ujian, dan diuji, membentuk mental yang memandang dirinya sebagai objek yang harus unggul dalam segala ujian, dan dapat masuk kedalam sebuah instansi. Instasi adalah organisasi yang dipandang sebagai tempat terakhir bermuaranya seseorang dikehidupan ini, artinya, setiap orang yang membentuk cita-citanya, secara tidak langsung, sadar atau tidak, sistem semacam itu menimbulkan kesan; bekerja sebagai seseorang yang bekerja di instansi dengan posisu tertentu adalah tujuan hidupnya (contoh;dokter, insinyur, polisi, tentara dll.).

Membentuk cita-cita atau tujuan hidup untuk masuk kedalam instansi merupakan ciri ketidak mandirian, jugan ciri dari usia kekanak-kanakan. Seorang seharusnya tidak membutuhakan pendidikan jika dirinya tidak butuh, juga, tidak membutuhkan masuk kedalam instansi tertentu jika tidak butuh. Karena, seharunya seseorang, menumbuhkan cita-cita atau tujuan hidupnya berdasarkan apa yang akan atau dapat ia lakukan untuk dirinya atau untuk orang lain, tergantung sifat atau kepribadiannya. Singkatnya, memeperlakukan cita-cita dalam pandangan sebagai; ‘melakukan sesuatu’ dari pada ‘menjadi sesuatu.’

Kemandirian, diwujudkan dalam tiga aspek, yaitu;

Dapat mempertanggung jawabkan dirinya,maksudnya, segala tindakan adalah berasal dari keinginannya, sehingga yang mempertangung jawabkan adalah dari dirinya, konsekuensinya, untuk hidup, dan segala kebutuhan, dirinya sediri yang memikirkan dan mengusahakannya.

Memiliki Tujuan yang dibentuk dirinya sendiri, maksudnya, segala langkah yang ditempuh dalam kehidupan, seorang mampu membuat keputusan dan tujuannya sendiri, tidak lagi abstain atau ragu, ngikut saja, atau tidak punya tujuan dalam hidup, artinya, dalam rutinitas kesehariaanya, seorang hanya melakukan, tapi tanpa tujuan, seperti menaiki mobil dan berkeliling kemana-mana tanpa ada titik temu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun