Mohon tunggu...
Yudha Bantono
Yudha Bantono Mohon Tunggu... Penulis - Pembaca peristiwa

Veterinarian, Art and architecture writer yubantono@yahoo.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Rio Saren Berbicara Keseimbangan Melalui Purnama Tilem

30 Mei 2016   21:37 Diperbarui: 30 Mei 2016   21:46 111
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

MALAM bersuara seperti nyanyian kepedihan. Gemercik sungai-sungai kecil yang biasanya terdengar seperti suara seruling, mendadak ikut diam. Dan hantaman ombak samudra yang biasanya berteriak seperti sangkakala pun mendadak ikut diam. Alam sedang dinaungi gelap, merangkak dari senja menuju gulita.

Banyak orang bergirang tatkala hari bertepatan dengan bulan terang purnama, disambutnya penuh sukacita ketimbang hari-hari menuju gelap tilem. Antara terang purnama dan gelap tilem semestinya dapat dinikmati sama indahnya, ini adalah semesta bicara dari pelepasan dan penerimaan matahari di jagad raya.

Suatu lukisan seri menanti cahaya yang bakal dipamerkan di Grya Santrian Galleri, Sanur Bali (6/5/2016) seperti menanti kedamaian, pelukisnya Rio Saren. Lukisan Rio yang berisi sederetan wajah-wajah yang mendiami bumi beserta isinya, seolah sengaja diperlihatkan dari pandangan atas. Wajah-wajah yang menjadi reperesentasi manusia berkumpul melingkari kalangan, sementara tumbuhan dan pepohonan menempati ruang diantara tapak tanah dan air.

Ada hal yang menarik manakala lukisan yang dipersiapkan oleh Rio bentuk kanvasnya adalah bulat. Saya mulai meraba seketika bahwa alam pikiran Rio rasanya ingin mengungkapkan secara gamblang tentang bumi yang bulat. Di atas kanvas ia telah mempertegas maksud yang ingin disampaikan, maka sangatlah paham ketika saya tanya bahwa lukisan itu diberi judul “Tilem”.

Lukisan Rio bagi saya sangat menarik untuk diamati, karena keluar dari kebiasan bentuk kanvas yang persegi dan pandangan dua dimensi yang datar. Bila melihat judul yang sangat kuat atas pengaruh rotasi matahari, maka hal ini bisa ditarik pada pembacaan kosmis atas pandangan kehidupan. Lebih-lebih Rio sebagai pelukis Bali dimana pengaruh kehidupan pribadi, spiritual, tradisi dan budaya,  dapat hadir dengan sendirinya dalam membangun ruang karya.

Saya mengamati karya Rio ini, bahwa unsur ornamen-ornamen lokal  ia hadirkan kembali sebagai spirit dalam menghidupkan narasi karyanya. Ia memang masih konsisten dengan pola-pola karya lamanya dan hampir dapat saya pastikan  ia tidak membuatnya dengan pola-pola yang baru. Namun pikiran-pikirannya di karya ini lebih tergulirkan dan berhasil menggerakkan pembacaan yang berbasis pada dinamika alam dan kehidupan. Untuk itu pada pameran tunggalnya kali ini yang bertajuk “Waiting Light” bisa saya tafsirkan juga seperti  memberi pesan pada keseimbangan antara manusia dan alam semesta, serta adanya muatan agar kita belajar pada kearifan alam.


Bila saya harus menghubungkan antara bulan mati yaitu keadaan gelap gulita, maka jarak antara purnama dan tilem adalah lima belas hari. Pertanyaannya apakah dalam karya tilem ini diidentikkan dengan gelap, sementara menantikan cahaya hanya menunggu terang? Rio memberikan kebebasan pada saya untuk mengintepretasikannya.

Memang ada beberapa hal yang saya dapatkan dan rasakan melihat karya Rio ini, karya Tilem yang dihadirkan ternyata tidak segelap atau semuram penerjemahan judulnya. Saya justru melihatnya sebagai wujud penerimaan mengenai gelap sejatinya sama indahnya dengan terang. Ungkapan inilah yang menjadikan kehidupan itu begitu sempurna, layaknya kehidupan di muka bumi yang terus berjalan dengan tidak perlu dirisaukan, karena mereka akan selalu hadir selama bumi masih mengitari matahari.

Setelah gelap malam niscaya terang fajar akan terbit, setelah terang siang niscaya gelap malam pun menggantikan, maka usai purnama, terang bulan niscaya terus meredup, lalu berganti gelap tilem, begitu seterusnya.

Saya bisa menggambarkan masih dengan kerinduan Rio tatkala  pernah saya wawancarai bahwa hidupnya adalah cara berkeseniannya. Rio bukan sekedar mencoba menawarkan tentang hasil perenungannya pada tilem dan purnama, akan tetapi  memaknai hadirnya cahaya sebagai sebuah harapan yang memiliki kekuatan. Cahaya adalah ladang harapan yang tak berbatas, dimana jiwa yang damai dapat bersemai.

Itulah yang membuat saya tertunduk dan semakin tertunduk lagi di depan matahari, bahwa prinsip-prinsip keseimbangan alam dapat dijadikan titik berangkat untuk lebih mengenal hukum-hukum keseimbangan kehidupan. (Pembacaan Karya Rio atas pameran tunggalnya di Grya Santrian Gallery, Sanur Bali).

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun