Mohon tunggu...
Yudha Bantono
Yudha Bantono Mohon Tunggu... Penulis - Pembaca peristiwa

Veterinarian, Art and architecture writer yubantono@yahoo.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Konsumerisme dalam Bidikan Fotografi Seni Rupa Dp Arsa

15 Juni 2016   20:20 Diperbarui: 15 Juni 2016   21:21 217
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
DP ARSA, Keep Calm and Shoping Till Drop (Series)

RATUSAN branding produk dari lokal sampai internasional kini sangat mudah bisa didapatkan dalam waktu sekejap. Ingatan berbelanja bukanlah fantasi lagi. Marketing dari pintu ke pintu sampai e-comers  telah menghadirkan gerakan belanja yang tidak lagi berbicara ruang, jarak dan waktu. Masih sering terdengar, bahwa banyak memiliki uang maka harus siap dengan godaan untuk berbelanja, atau sedikit uang tetap berbelanja menunggu discount atau potongan harga. Konsumen membeli adalah “kunci” yang menjadi goal dari setiap produk yang ditawarkan.

Mengupas berbelanja dengan kepuasan merupakan tantangan tersendiri, bahkan para orang kaya pun harus memilih dengan benar apa yang akan dibelanjakannya. Semua menyangkut uang, selera, manfaat dan gengsi. Meskipun terkesan mengada-ada , melalui karya seni rupa fotografi yang berjudul “Between hope, desperate and happiness” akan menggiring saya untuk mengetahui isu krusial dari akar permasalahan konsumerisme dan konsumtivisme.

DP Arsa perupa foto yang telah membuat seri karya “Keep Calm and Shoping Till Drop” nampaknya ingin mengangkat sensitivitas prilaku masyarakat dalam berbelanja. Kenapa masyarakat telah diperdaya dengan begitu luar biasa oleh propaganda untuk membeli dan membeli sepuasnya. Pertanyaan ini yang dari awal saya cermati untuk menepatkan diri saya sebagai subjek untuk melihat karya Arsa.

Bila melirik kembali lembaran propaganda pemasaran dari jaman era dulu sampai sekarang, memang serasa tak pernah membosankan. Tak heran setiap produk terus berevolusi dalam dinamikanya untuk mempengaruhi nafsu belanja masyarakat. Gaya tampilan visual sangat menguatkan identitas produk yang dikemas sebagai media komunikasi. Produsen berlomba dengan risetnya, menyentuh pada wilayah pribadi dan memerlukan biaya tinggi. Ada tampilan yang berseberangan ketika bahasa ungkap telah melebar pada kedalaman atau sensasi produk, walau semuanya itu adalah manipulasi sebuah penyampaian. Jika intensitas penyampaian itu masuk pada ruang kesadaran consumptivemaka kata today’s shoping adalah budaya yang harus dibayar mahal.

Problematika Bali dan daerah lain yang terus berkembang kini tidak hanya dihadapkan pada persoalan seperti padatnya lalu lintas dengan kemacetan dan beragam isu masyarakat urban lainnya. Reklame telah menempati ruang strategis dari kota sampai pelosok desa, dari promosi menjadi sampah visual. Baliho (billboard) sampai tempelen kertas di tembok-tembok, tiang listrik, tiang telepone maupun pohon-pohon, semua bicara jualan, menarik simpati dari yang halus sampai memaksa, hadir tak terkendali.

Karya “Between hope, desperate and happiness” sangat nampak bagaimana Arsa ingin menaruh banyak mata diantara bungkusan plastik dari supermall hyper lengkap dengan struck belanjanya. Dengan mata yang digandakan berulang-ulang sepertinya Arsa ingin mengkonstruksi ulang budaya kapitalisme global, dimana mata sebagai simbol pandangan dunia dan cara berfikir masyarakat. Mata oleh Arsa diletakkan juga sebagai konstruksi rupa, yang didalamnya terdapat komoditi untuk membangun hubungan masyarakat dan konsumerisme secara luas. Hadirnya plastik pembungkus barang dengan bukti pembayaran adalah bukti yang digunakan oleh Arsa untuk membangun fakta dengan nilai tanda dan makna simbolik dari sebuah konsumerisme.

Mengamati karya “Between hope, desperate and happiness” inilah sebetulnya esensi dari gaya hidup konsumerisme yaitu gaya konsumsi yang ditopang oleh proses penciptaan diferensi yang secara terus menerus lewat mekanisme tanda, citra dan makna-makna simbolik. Arsa saya lihat telah berhasil menempatkan simbolisme kuat dengan menggunakan logika hasrat dan keinginan, ketimbang logika kebutuhan.

Wajar kiranya Arsa yang menempatkan karya “Between hope, desperate and happiness” dalam seri karya fotografi seni rupa “Keep Calm and Shoping Till Drop “. Bingkai seri karya ini semakin memperluas pandangan saya untuk melihat semburat gagasan dalam membaca kedalaman sebuah arti konsumerisme dan konsumtivisme. Lantas apakah Arsa hanya meletakkan simbolisme saja dalam karya ini?, ternyata tidak, ia juga telah melakukan pengamatan terhadap tingkah polah identitas prilaku yang memerankan ketertarikan atau suka terhadap suatu barang (produk) maupun pelayanan (jasa).

Menakar dampak belanja dengan manifestasi termasuk tekanannya memang sederhana bila menyadari apa yang telah kita beli, apakah barang itu menjadi keperluan sangat pokok, pokok, atau sekedar. Arsa telah mempertanyakan segala asumsinya termasuk penyebabnya. Tidak mudah rasanya mempertanyakan dengan simbolisme atau tanda, tetapi inilah sebenarnya pencerahan bagi perjalanan seni rupa photo, membaca senseberbicara kuat dalam problematika sosial yang tidak jauh dari diri kita. Dalam karya ini saya juga melihat sepertinya Arsa tidak lagi ingin membicarakan wilayah pencapaian dari sebuah teknik-teknik fotografi, ia ingin membebaskan dirinya lebih pada ide dan gagasan. Inilah posisi tawar yang ingin saya garis bawahi bahwa ada sisi lain dari eksplorasi tentang dunia fotografi ketika masuk pada wilayah seni rupa fotografi.

Karya-karya photo artArsa terlihat berhasil membaca adanya konflik kepentingan dan budaya yang kuat. Bagi saya ini sangat menarik, karena bahasan penting dengan sendirinya telah mencapai ruang kompromi, yaitu bagaimana karya itu bermanifestasi dalam ruang publik. Arsa telah berhasil menggeser lensa menjadi sebuah prinsip dasar, menggugah dan mempengaruhi pola pikir dan menyentuh hati orang yang membacanya .

Berangkat dari keseriusan konsep karya “Between hope, desperate and happiness”  saya berharap seni rupa fotografi Arsa dapat terus hadir membaca, menangkap, berbicara, dan menawarkan kecerdasan mengenai representasi sosial yang ada di sekelilingnya. Belum begitu banyak karya fotografi di negeri ini yang secara radikal berbicara apa adanya, lebih-lebih berhitung dengan sebuah resiko. Maka, barangkali benar untuk masuk ke wilayah kesadaran yang mengupas realitas kritis hidup kontemporer ini harus masuk melalui sebuah krisis kebudayaan. Dan Karya Photo Art DP Arsa salah satunya mulai berbicara. 

 

(Yudha Bantono, Pembacaan bebas karya seni rupa fotografi, 15.06.2016)

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun