Mohon tunggu...
Yudha Bantono
Yudha Bantono Mohon Tunggu... Penulis - Pembaca peristiwa

Veterinarian, Art and architecture writer yubantono@yahoo.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Dari Bali Saya Tercerahkan tentang Toleransi melalui Ingatan Budaya

11 Desember 2016   15:19 Diperbarui: 12 Desember 2016   10:08 792
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gunungan (image /www.pinterest.com/masintasriana/my-indonesia/)

Saya termasuk orang yang mau mengakui bahwa sejatinya saya bukan asli Islam, tetapi pada kenyataannya saya lahir, tumbuh dewasa dan sampai sekarang sebagai orang islam. Sekian kenangan masa kecil yang tidak harus dijelaskan bahwa keluarga saya adalah pemeluk keyakinan yang berbeda, dan ini mendidik saya hidup nyaman berdampingan dengan siapa saja, tanpa melihat perbedaan keyakinannya.

Sebelum jauh membahas kenapa saya bukan asli orang islam. Tepatnya, di Dusun Curah Jati, Desa Grajagan, sebuah dusun di daerah selatan Banyuwangi yang dikelilingi hutan jati dari arah barat, timur dan selatan. Dusun itu penduduknya adalah pemeluk agama yang berbeda-beda, termasuk leluhurku yang beragama Hindu Jawa. Maka tak heran jauh sebelum adanya simbol kerukunan umat beragama berupa tempat ibadah dibangun dalam satu kawasan di Bali, dusun keluargaku-lah yang terlebih dahulu dengan penganutnya membangun tempat ibadah seluruh agama dalam satu dusun.

Seperti telah saya ungkapkan, generasi leluhurku adalah Hindu Jawa dan kakekku adalah Katolik,  melahirkan ayahku juga seorang penganut Katolik. Tapi, ketika ayahku harus menikahi ibuku yang berdarah Jawa Madura dan beragama islam, akhirnya ayahku berpindah keyakinan memeluk agama Islam, dan generasi berikutnya jadilah islam, termasuk saya dan adik-adikku.

Ketika masa kecilku yang selalu mengikuti perayaan dan penghormatan terhadap Natal dan hari raya Galungan bagi adik kakekku yang menganut agama Hindu, disitu saya mulai merasakan indahnya perbedaan. Bahkan jauh sebelum penganut agama lain dipersoalkan memakai peci hitam, kakekku dulu setiap ke gereja memakai peci hitam. Waktu itu tidak ada satupun masyarakat yang nyinyir atau mencibir. 

Bila saat itu orang mau beribadah ke masjid dan ke gereja hanya dilihat busananya tentu akan bingung, karena mereka sama. Tidak ada yang membedakan, dan hanya jalan menuju ke tempat ibadah saja yang berbeda, dan mereka menyadari tujuannya sama, yaitu menuju kepada Gusti Pengeran pencipta alam seisinya ini.

Sewaktu masih kanak-kanak, saya tidak pernah menanyakan kenapa keluargaku berbeda-beda keyakinan dan hidup rukun, mungkin karena waktu itu tidak pernah ada konflik sekecil apapun, sehingga saya tidak tertarik untuk menanyakan. Dan memang tidak perlu dipertanyakan. Semua keluarga dan tetangga guyub, bersilaturahmi berkunjung pada waktu idul fitri, natal, galungan maupun waisak.

Bagi saya, kondisi saat ini yang sering memperlihatkan adanya konflik antar umat beragama atau seagama sendiri karena adanya perbedaan prinsip, pelan-pelan masalah itu membukakan mata dan fikiran saya untuk kembali melihat kenangan masa kecil, kenapa dahulu sangat minim konflik. Kini dari busana saja sudah mulai berkata, kita adalah berbeda dan memang berbeda. Saya telah mencoba menggothak-gathukkan bagaimana seharusnya memulai untuk merujuk kemana arah dan mengatakan bahwa kita sejatinya adalah sama. Tentu bukan perkara mudah, karena ini menyangkut sebuah prinsip yang diyakini, kalaupun dipaksakan bisa menimbulkan konflik serius.

Beruntung saya tinggal di Bali, sekali lagi saya beruntung. Di pulau yang menjunjung tinggi toleransi ini,  saya banyak belajar bagaimana memori kultural dapat menjadi dasar sekaligus membingkai sebuah perbedaan. Inilah yang saya amati kemudian menjadi dasar hidup masyarakatnya yang rukun dan damai. Ketika saya berhubungan dengan sahabat, bahkan sudah lebih dekat saya anggap saudara, pikiran saya hanya sederhana, saya memiliki sejarah keyakinan yang sama dari leluhurku yaitu Hindu. 

Dan ini juga menjadi pandangan saya yang berlaku bagi pemeluk agama lainnya. Bila dirunut jauh ke belakang, saya yakin sejarah keyakinan masyarakat nusantara ini pada dasarnya memiliki kedekatan atau persamaan. Memori kultural-lah selanjutnya seperti imun,  dimasukkan ke dalam pikiran dan jiwa menjadi antibody yang mampu membentengi serangan penyakit yang bernama intoleran.

Begitu halnya ketika saya dekat dengan keluarga keturunan etnis China di Bali, saya berfikir kenapa mereka begitu damai hidupnya. Sementara isu China di luar Bali menjadi sentimen negatif, bahkan mudah terprovokasi, cepat membenci maupun anarkhis. Setelah saya tanyakan kepada sahabat keurunan etnis China yang memang lahir di Bali itu, katanya karena di Bali memori kultural itu dipertahankan, dijaga, dan dihormati sampai sekarang.

Lebih lanjut kata sahabatku,  China dan Bali tidak boleh dipisahkan. Banyak percampuran budaya yang didapat dari daratan Tiongkok ke Bali yang sudah menjadi bagian dari kebudayaan setempat. Kedatangan Bangsa Tiongkok yang berdagang menuju Bali pada masa kepemimpinan Raja Jaya Pangus (1181-1269 Masehi) menjadi ingatan budaya yang sangat dihormati, bertahan dan dipertahankan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun