Mohon tunggu...
yu_ suf
yu_ suf Mohon Tunggu... Lainnya - Pelajar

Penulis Amatir

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Etika: Sebuah Pengandaian dan Problem Kebebasan

2 November 2021   22:40 Diperbarui: 2 November 2021   22:54 458
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Ketika melihat burung di langit, terbang begitu tinggi, ke sana kemari, ke atas dan ke bawah, berputar juga menukik, dalam hati berkata “ahh bebasnya…aku ingin seperti itu…bebas, tanpa ada yang mengatur”.

Manusia menginginkan kebebasan. Berbuat sesuka hati tanpa perintah, tanpa larangan. Yaa.. bahkan tanpa norma. Sekali lagi, manusia menginginkan kebebasan. Ada yang ingin kebut-kebutan di jalan, merasakan angin segar, merasakan sensasi kecepatan, tanpa helm, tanpa SIM, tanpa adanya norma hukum. Mungkin juga ada yang ingin berjalan diantara kumpulan orang tua, lalu dihormati sebagaimana partner dalam bisnis, tanpa perlu permisi, tanpa perlu menundukkan badan, tanpa adanya norma sopan santun.

Bicara soal kebebasan, maka akan timbul suatu pertanyaan. Apa itu kebebasan? Sudahkah kita mendapatkan kebebasan tersebut?

Dalam benak kita, medengar kata kebebasan tentunya kita artikan “hidup tanpa adanya paksaan dari berbagai hal untuk melawan kehendak kita”. Kita bebas jika tidak ada masyarakat dan norma-norma yang mencoba menghalangi kita untuk berbuat sesuka hati. Tapi apakah makna bebas demikian? Layaknya seekor burung yang terbang di langit, apakah bebas memang seperti itu?

Dalam bukunya, Franz Magnis Suseno mengatakan bahwa kata bebas masih memiliki arti yang lebih fundamental, yaitu bahwa kita mampu untuk menentukan sendiri—berbeda dengan binatang— apa yang mau kita lakukan. Dengan kita mampu untuk menentukan sendiri apa yang harus kita lakukan, itulah kebebasan.

Manusia dibedakan dari hewan karena memiliki akal. Hewan tak memiliki kewajiban dan tak harus bertanggung jawab dengan apa yang mereka lakukan. Perbuatannya di tentukan oleh insting mereka. Dalam segala hal yang menimpanya mereka akan bertindak sesuai insting. 

Sedangkan manusia tidak, instingnya tidak sekuat dan setajam hewan. Manusia diberkahi oleh akal. Dengan akal manusia dapat menangkap berbagai pengertian. Nah, pengertian inilah yang mengindikasikan bahwa manusia memahami alternatif-alternatif lain dalam bertindak. Ia dapat bertindak A, ia dapat bertindak B ataupun bertindak C dan seterusnya.

Jika kita menyimpulkan bahwa burung yang terbang tinggi di langit sebagai makhluk dengan kebebasan, itu tidak benar. Seperti yang sudah disebutkan diatas, jika hewan itu bertindak sesuai arahan insting, maka burung yang nampaknya terbang bebas di langit pada dasarnya terikat oleh insting mereka. 

Burung tersebut masih terkekang oleh insting. Mereka tidak bisa menentukan harus apa dan bagaimana dalam bertindak. Seumpama, seekor induk burung pulang ke sarang sambil membawa makanan (misal; biji-bijian), Ia punya dua anak, satu besar dan yang satu lagi kecil, lantas apakah si induk akan menyuruh yang besar berpuasa dengan tidak memberikannya makanan sedikit-pun dan memberikan lebih banyak makanan kepada yang kecil agar keduanya tumbuh sama besar? 

Tentunya tidak, instingnya sebagai seorang ibu hanya sekedar memberikan makanan kepada anaknya, tanpa adanya pertimbangan, begitu keduanya telah diberi makan selesai sudah. Atau, seekor kucing di beri setengah bagian ikan salmon—perut sampai sirip ekor, lantas apakah ia akan membatin “wahh kurang estetik nihh…masa cuma setengah”, kemudian pergi mencari setengah bagian yang lain, begitu ketemu lalu di sandingkan dengan bagian yang lain dan memakannya? Tentu tidak, ketika diberi ia akan langsung memakannya tanpa adanya pertimbangan, mungkin batinnya “wahh salmon, enak nihh” langsung di haapp.

Tapi manusia, dengan akalnya mampu untuk menentukan apa yang mau dilakukan. Mereka juga memiliki berbagai alternatif-alternatif lain dalam bertindak. Seumpama lagi, seorang pria yang tengah bersantai di depan rumah, tiba-tiba di datangi tetangganya dan memberikan padanya seember ayam goreng **c, senang bukan main, ia yang diberkahi akal akan berpikir “makan sekarang atau nanti yaa, oiyaa lagi puasa, nanti aja deh buat buka puasa” atau “ini kan makanan kesukaan Dinda, ajak makan bareng ahh biar romantis”. Dengan akal, manusia dapat melakukan pertimbangan, menentukan apa yang harus dilakukan, serta mengandaikan adanya alternatif tindakan. Inilah yang dinamakan dengan kebebasan.

Katanya manusia memiliki kebebasan, bisa lakuin ini lakuin itu, tapi kok masih ada aturan-aturan, masih banyak norma-norma yang mesti ditaati? Bukankah dengan akal kita bisa menentukan perbuatan apa yang kita mau, tapi kenapa malah perbuatan kita yang ditentukan norma-norma dan aturan-aturan ?

Sekali lagi, Franz Magnis Suseno, dalam bukunya mengatakan “Melarang orang melakukan sesuatu yang tidak dapat dilakukannya adalah tidak masuk akal. Begitu juga orang tidak dapat diperintah sesuatu yang mustahil dilakukannya”. Ketika pamit ke Ibu untuk berangkat ke luar negeri, lalu Ibu berpesan “jangan lupa bernafas nak !”. Hal ini sangatlah tidak masuk akal, karena bagaimana mungkin kita lupa bernafas. Jika Ibu berpesan “jangan lupa cuci kaki sebelum tidur!”. Hal ini masuk akal, karena bisa saja kita tidak mencuci kaki.

Maka dari itu, dikarenakan manusia memiliki kebebasan ia akan berbuat apa yang bisa diperbuat, wajar jika ada sebuah aturan. Manusia tidak akan berbuat jika hal itu tidak bisa di perbuat, lalu untuk apa dilarang ?

"Adanya peraturan-peraturan hanya masuk akal karena manusia memiliki kebebasan"Romo Franz Magnis Suseno

#opini

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun