Mohon tunggu...
yswitopr
yswitopr Mohon Tunggu... lainnya -

....yang gelisah karena sapaan Sang Cinta dan sedang dalam perjalanan mencari Sang Cinta

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Wisata Bencana Menjadi Sebuah Habitus?

14 Januari 2011   00:00 Diperbarui: 26 Juni 2015   09:37 322
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Penderitaan adalah perkara yang tidak mengenakkan. Penderitaan dapat mengambil aneka bentuk: kemiskinan, beban-beban hidup, atau aneka bencana. Karena tidak mengenakkan itulah penderitaan mudah mengundang rasa simpati dan bela rasa. Salah satu faktor penyebabnya adalah budaya timur yang lebih mengedepankan rasa perasaan.

12949400282136735152
12949400282136735152
Situasi seperti ini tumbuh subur terutama dalam konteks masyarakat Indonesia. Segala bentuk penderitaan menjadi sebuah komoditas yang diperdagangkan. Uniknya, hal ini telah merambah ke dunia politik dengan berbagai istilah yang dimunculkan: menjadi korban, telah didzolimi, dan istilah-istilah lainnya. Hal yang sangat lumrah sebab konteks masyarakat Indonesia yang mudah trenyuh melihat penderitaan orang lain. Jika rasa trenyuh telah muncul, fase berikutnya adalah pembelaan yang kadang membabi buta.

Melalui pintu inilah saya menocba melihat berbagai fenomena bencana alam yang melanda negeri ini. Bencana alam seolah menjadi perekat kesatuan masyarakat. Bencana alam telah menggugah rasa masyarakat. Banyak orang yang ikut berbela rasa dan memberikan simpati kepada para korban bencana alam. Ada banyak hal yang telah dilakukan, mulai dari menjadi relawan sampai aksi penggalangan dana untuk membantu para korban. Semua itu dilakukan dengan tulus. Atas dasar kemanusia tanpa memperhitungkan lagi unsur-unsur sara. Meskipun ada juga satu dua yang mencoba mengail di air keruh dengan menggunakan isu-isu sara.

12949401591043847927
12949401591043847927
Menjadi sebuah pertanyaan besar dalam benak saya: dalam sekejab penderitaan telah mengundang bela rasa dan simpati, dan dalam sekejab pula rasa perasaan itu seolah menghilang. Ada sebuah fenomena menarik. Setelah terjadi bencana, banyak orang berbondong-bondong datang ke tempat bencana. Ada banyak motivasi yang mendasari. Ada yang datang dengan membawa bantuan. Ada yang datang untuk melakukan pendataan untuk kemudian mengambil langkah. Yang bikin geleng-geleng kepala adalah mereka yang datang hanya sekedar untuk menonton, ingin mengetahui situasinya, dan paling menghebohkan adalah keinginan untuk menikmati situasi bencana itu. Luar biasa.

Dalam berbagai pengamatan yang saya lakukan, wisata bencana itu sangat kontraproduktif. Bagi yang bersangkutan, situasi yang ditonton bisa menjadi sarana refreshing yang murah meriah. Namun, apa yang mereka lakukan ini justru mengganggu. Bencana membutuhkan penanganan yang cepat. Keberadaan para wisatawan bencana ini justru mengganggu proses evakuasi dan penanganan bencana. Bagi para relawan dan petugas, kerumunan massa jelas mengganggu kerja mereka. Kerumunan itu sendiri teramat sulit untuk diatur. Himbauan dari para relawan dan petugas sama sekali tidak dianggap. Jika terjadi sesuatu kepada mereka, siapa yang akan disalahkan?

12949403021722492079
12949403021722492079

“Kami bukan tontonan!!!” demikian tulisan warga yang kesal atas kehadiran para wisatawan bencana yang hanya datang untuk melihat-lihat situasi bencana sembari berfoto-foto ria dengan latar belakang situasi bencana. Tulisan ini menjadi puncak kegeraman masyarakat yang sedang mengalami kesusahan. Kehadiran para wisatawan bencana dapat memperbuat situasi psikologis para korban bencana. Kehadiraan mereka yang datang untuk menonton akan semakin menambah luka yang sedang dialami.

12949405001471660237
12949405001471660237

Akankah fenomena wisata bencana ini menjadi sebuah habitus?

12949406931332264325
12949406931332264325

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun