[caption id="attachment_178571" align="aligncenter" width="576" caption="ilustrasi (dok.pri)"][/caption]
Menulis supaya terkenal alias tenar? Kok bisa sih? Segudang pertanyaan menyeruak dalam benakku. Aku sadar ada sekian banyak motivasi yang mendasari kompasianers menulis di blog gratisan seperti di Kompasiana ini. Kesadaran ini semakin jelas dan nyata bagiku setelah membaca apa yang akhir-akhir ini menghebohkan di Kompasiana. Berbagai tulisan kontroversial bermunculan. Berbagai komentar ala oseng-oseng mercon bersliweran di berbagai tulisan.
Memang tidak mudah jujur pada diri sendiri. Terus terang, setelah melihat dankontroversi yang ada, aku bertanya pad diri sendiri. Apa sih yang mendasari saya menulis? Danitu, aku menemukan bahwa aku menulis untuk belajar merangkai pikiran sehingga bisa dinikmati orang lain. Aku menulis untuk berbagi kisah dan gagasan.
Di sisi lain, motivasiku itu bisa berbenturan dengan kepentingan lain. Ini adalah sebuah analisa yang aku temukan setelah akhir-akhir ini muncul berbagai kontroversi. Jelasnya motivasi tulus menulis bisa berbenturan dengan kepentingan pengelola, dalam hal ini Kompasiana. Sebagai sebuah media, tentu Kompasiana memiliki target tertentu. Misalnya target pengguna atau jumlah pengunjung sehingga Kompasiana memiliki rating yang semakin meningkat. Aku pikir ini realistis, lepas dari diakui atau tidak. Kesimpulan ini semakin dikuatkan oleh tulisan sang bidan Kompasiana ketika menyanjung tulisan sejuta klik yang dipublish oleh salah satu kompasianer. Bahkan ketika banyak kompasianer yang menyanggah dan mematahkan tulisan itu pun, tulisan kontroversi tetap melenggang. Mengapa? Kompasiana tentu punya kepentingan.
Meski demikian, apakah aku harus ikut-ikutan membuat kontroversi supaya aku jadi terkenal dan bisa ikut mendongkrak rating Kompasiana? Ada banyak cara lebih elegan dari pada tindakan “pembodohan” demi sebuah popularitas. Kadang geli juga demi popularitas mengambil tindakan-tindakan unik. Misalnya membuat tulisan kontroversial (biasanya bermain-main dengan kesahihan data); memiliki banyak akun (bahkan ada yang ngaku sampai punya 16 akun); dan berbagai tindakan lain yang kadang membuat dahi ini mengerut.
Dibutuhkan sebuah kreatifitas untuk mendukung tujuan murni belajar menulis dan ikut membantu mendongkrak rating. Memberikan link tulisan sendiri atau tulisan kompasianer lain yang memang bagus di aneka jejaring sosial atau blog adalah salah satu bentuk tindakan yang elegan. Dengan memberikan link itu, sahabat-sahabat tentu akan tertarik untuk melihat link yang ditunjukkan. Mungkin mereka itu hanya akan mnjadi silent reader, tetapi jangan salah, lama kelamaan mereka akan membuka akun juga di Kompasiana ketika menemukan banyak tulisan berbobot.
Hal lain yang aku ikuti adalah bergabung dengan grup yang dibuat oleh para kompasianer. Secara kebetulan, aku ikut grup itu karena diajak oleh teman. Awalnya gamang juga mengikuti grup-grup yang sebagian adala kompasianer yang telah eksis. Tetapi seiring perkembangan waktu, aku menemukan ada banyak sisi positif dalam usaha mengembangkan kemampuanku dalam hal tulisa menulis dan hobby lain yang mendukung ke arah itu. Sejauh ini aku diajak bergabung untuuuk ikut dalam grup KAMPRET yang anggota-anggotanya adalah kompasianer tukang foto, tanpa memandang apa kamera yang dipakai.
Asumsiku ini bisa salah, yaitu aktifitas kami di Kampret turut menyumbang sesuatu untuk Kompasiana. Aku yakin, entah besar entah kecil, aktifitas yang terjadi di Kampret turut menyumbang popularitas Kompasiana (sekali lagi asumsiku ini bisa salah), setidaknya eksistensi Kampret turut mendongkrak populasi tulisan yang diunggah di Kompasiana. Awalnya grup itu hanya menjadi arena berteman, bermain, dan membentuk jejaring. Lama kelamaan, muncul kesadaran untuk berbuat sesuatu. Muncullah Weekly Challenge. Melalui tema foto tertentu, Kampretos ditantang untuk membuat tulisan di Kompasiana menurut tema itu. Tidak hanya anggota, tetapi kompasianer lain pun juga diperbolehkan mengikuti. Bonus pulsa menanti bagi yang terpilih. Tentu itu hanya sekedar perangsang saja.
Dampak positif adalah tantangan itu adalah bahwa aku ditantang untuk terus belajar mengolah bahan menjadi sebuah tulisan yang menarik. Hingga sekarang, sudah sampai WPC 5. Artinya aktifitas itu sudah berjalan 5 minggu. Yang unik, tulisan-tulisan WPC itu banyak yang menjadi HL. Tentu bukan itu tujuan utamanya, tetapi sebuah kepuasan dari para penulisnya. Selain melatih kemampuan menulis, aku berasumsi bahwa aktifitas mingguan para kampretos ini turut meningkatkan rating Kompasiana sebab jalinan pertemanan menjadi semakin luas.
Tidak hanya aktifitas WPC, akhir-akhir ini kampretos ditantang admin Kompasiana untuk menyumbang foto yang akan digunakan sebagai ilustrasi tulisan HL di Kompasiana. Sebuah tantangan yng sekaligus menjadi cita-cita kampretos. Sejak awal, kampretos sudah ngudhar rasa: kenapa ilustrasi yang dipakai selalu foto “luar”? Tantangan itu pun ditanggapi dengan antusias. Dan hasilnya, sudah ada beberapa foto kampretos yang dipakai admin sebagai ilustrasi tulisan HL di Kompasiana. Setidaknya, aku merasa bahwa hal itu sebagai sebuah tanda eksisnya grup dan cintanya para kampretos pada Kompsiana. Setidaknya, aku tumbuh dan berkembang karena Kompasiana, maka aku ingin menyumbang sesuatu.
Memang ada kejadian unik soal foto ilustrasi itu. Analisa salah seorang kompasianer atas foto ilustrasi satu mata dihubungkan dengan dajjal. Hebohlah para kampretos. Bukan kampretos kalau tidak mengharu biru dan menjadikannya sebagai sebuah bahan bercanda. Jadilah tulisan itu diserbu para kampretos. Nah, malah mendukung naiknya keterbacaan tulisan itu meskipun faktanya belum tentu para pengunjung membaca tulisan itu. Bisa jadi kampretos yang penasaran tidak membaca isi, tetapi langsung meluncur ke komentar yang telah ada.
Dari berbagai pendalaman ini, mengapa harus kontroversial kalau bisa elegan. Kontroversial memang mengundang orang untuk datang. Tetapi kontroversial bisa berdampak negatif juga yang perlu dipertimbangkan. Ketika yang kontroversial itu membuat orang kecewa, sedikit demi sedikit akan ditinggalkan. Menurut pengamatanku, kok ada penulis-penulis jempolan di Kompasiana yang sudah jarang muncul. Cara yang elegan lebih tahan uji. Tulisan elegan lebih menenteramkan. Tentu cara-cara elegan tidak segera mendatangkan rating yang cepat. Namun, cara-cara elegan membuat orang betah.
Sekarang, tinggal mana yang akan dipilih? Semua kembali ke masing-masing kompasianer.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H