Sudah terlalu lama teknologi informasi (TI) diperlakukan sebagai urusan "anak IT" sebuah departemen teknis yang bekerja di ruang dingin, sibuk dengan kabel, server, dan sistem ERP yang tak dipahami oleh dewan direksi. Tapi hari ini, dengan ironi yang mencolok, perusahaan-perusahaan justru menyebut diri mereka sebagai "perusahaan digital" atau "organisasi berbasis data" sambil tetap meminggirkan TI dari ruang pengambilan keputusan strategis.
Inilah realitas yang menyedihkan: eksekutif puncak ingin hasil dari transformasi digital, tetapi enggan menyentuh kompleksitasnya. Mereka berharap keajaiban teknologi terjadi, tanpa harus memahami atau terlibat di dalamnya. Dan ketika semuanya gagal, mereka dengan cepat menunjuk kepala TI sebagai kambing hitam.
Eksekutif yang Tidak Melek Digital Adalah Risiko Nyata
Salah satu ironi terbesar dalam dunia bisnis modern adalah bahwa risiko terbesar teknologi bukan datang dari hacker, tetapi dari para pemimpin yang tidak peduli. Keterlibatan pimpinan adalah kunci keberhasilan tata kelola TI. Tapi kenyataannya? Mayoritas eksekutif masih menganggap IT sebagai alat, bukan aset strategis.
Apa akibatnya? Strategi digital dibuat tanpa masukan TI. Sistem dibeli tanpa pertimbangan arsitektur jangka panjang. Keputusan outsourcing dibuat hanya berdasarkan harga, bukan implikasi risiko data. Ini bukan governance. Ini negligensia berjubah kebijakan.
CIO Bukan Satpam Teknologi
Posisi Chief Information Officer (CIO) dalam banyak organisasi masih diperlakukan seperti tukang servis printer yang dipromosikan. Mereka diberi tanggung jawab atas sistem dan data, tapi tak diberi kursi di meja pengambil keputusan. Padahal, tanpa keterlibatan CIO dan tim TI dalam strategi bisnis, maka digitalisasi hanyalah proyek tempelan.
Seharusnya, CIO duduk setara dengan CFO dan CMO, ikut menyusun roadmap bisnis, dan menyuarakan bagaimana teknologi bisa menciptakan diferensiasi pasar. Tapi kalau para pemimpin sendiri tidak paham bahwa governance mencakup arah dan kontrol strategis TI, bagaimana mungkin mereka bisa menuntut hasil?
Digitalisasi Bukan Proyek, Tapi Budaya
Tantangan terbesar dalam penerapan IT Governance bukan teknologi, melainkan mentalitas. Banyak eksekutif berpikir bahwa digitalisasi selesai ketika sistem ERP live atau aplikasi mobile rilis. Mereka tidak paham bahwa tata kelola TI adalah proses berkelanjutan, menyangkut perubahan budaya, peran, dan kepemimpinan.
Digitalisasi gagal bukan karena tim IT tidak kompeten, tapi karena dewan direksi tidak punya komitmen. Mereka ingin hasil digital, tapi tidak mau berpikir digital. Mereka ingin adopsi AI, tapi masih menyimpan data pelanggan di Excel.
Ketika Transformasi Tanpa Kepemimpinan = Disfungsi
Tanpa keterlibatan aktif dari pimpinan, governance akan berubah menjadi birokrasi. Framework seperti COBIT, ITIL, dan ISO 38500 hanya akan jadi dokumen penggugur audit. Komite tata kelola dibentuk hanya sebagai formalitas. Risiko tidak pernah dikelola, hanya dicatat.
Lebih parah lagi, staf TI akan kehilangan arah. Mereka bingung harus menjawab kepada siapa. Budget sering dipotong, rencana ditolak, dan ketika ada insiden, hanya mereka yang diminta bertanggung jawab. Inilah bentuk kegagalan struktural yang lahir dari kepemimpinan yang apatis.