Mohon tunggu...
Yoyo
Yoyo Mohon Tunggu... Buruh - Lorem ipsum dan lain-lain seperti seharusnya

Tour leader. Pengamat buku, kutu buku, penggila buku dan segala hal yang berbau buku.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Pemakaman Papa (Lanjutan)

20 Februari 2018   01:28 Diperbarui: 20 Februari 2018   01:56 633
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bapak ini yang sehari-hari mengurus makam Papa di Tanah Kusir.

Papa dimakamkan di Pemakaman Tanah Kusir. Dan sekali lagi kami sekeluarga terperangah. Begitu banyak orang yang datang untuk mengantar ke tempat peristirahatannya yang terakhir. Semua tamu tak dikenal yang pernah datang ke rumah sakit hadir kecuali Romo Loogman. Menurut A Koh, dia membaca di surat kabar bahwa Romo Loogman telah meninggal dunia. Tapi yang lainnya lengkap. Konglomerat Pak Liem, Franz, petani buah merah dari Papua, Damodar Pande, akupuntur dari Tibet, Kyai dari Pasuruan dan masih banyak lagi.

Pak Liem datang bersama seluruh keluarganya dengan rombongan besar dan bodyguard yang sangat banyak. Konvoi mobil mereka tampak menonjol karena hampir semuanya berupa mobil mewah yang mungkin tidak akan pernah terbeli selama hidup saya.

Sang Kyai dari Pasuruan membawa belasan santrinya dan semua memakai pakaian serba putih. Sepanjang perjalanan mereka membacakan berbagai doa. Yang saya kenali hanya Surah Yasin dan tahlil.

Franz juga datang bersama kelompoknya yang berjumlah sekitar 20 orang. Semuanya berpakaian tradisional Papua. Sambil berjalan mereka menari dan bergerak ke sana ke mari membentuk lingkaran seraya membunyikan alat musik pukul seperti tifa, alat musik tiup yang terbuat dari bambu beruas-ruas dan divariasikan dengan lantunan nyanyian yang ke luar dari mulut mereka.

Bahkan serombongan biksu dan biksuni berkepala botak dan berpakaian coklat muda ikut mengantar. Mereka membuat barisan dan berjalan teratur rapi dengan gerakan kompak seperti telah berlatih dulu sebelumnya. Sambil berjalan mereka juga menyalakan hio dan berdoa dengan suara keras seraya membuat bunyi-bunyian yang mereka bawa berupa kecrekan dan gong kecil.

Dan masih ada beberapa rombongan lain yang juga mengenakan pakaian unik yang kami juga tidak tau dari daerah mana. Pokoknya rombongan pengantar jenazah saat itu ramai dan meriah. Orang-orang yang berpapasan menyempatkan diri untuk menoleh karena mereka mengira kami adalah rombongan karnaval yang sedang melakukan perayaan hari besar tertentu.

Kembali saya membatin, 'Papa, siapakah orang-orang ini? Kenapa Papa begitu banyak mempunyai teman-teman aneh yang tidak pernah kami ketahui?' 

Keheranan bukan hanya milik keluarga kami. Sebuah Media Online bahkan membuat berita kecil di kolomnya tentang pemakaman Ayah kami. Isinya seperti berikut;

"Sebuah Fenomena Aneh Di Pemakaman Tanah Kusir.

Kemacetan luar biasa terjadi di Tanah Kusir. Ketika team wartawan kami menyelidiki apa penyebabnya, ternyata hasilnya sangat mencengangkan. Kemacetan tersebut diakibatkan adanya seseorang yang meninggal. Orang tersebut sama sekali tidak dikenal. Tapi anehnya, orang yang mengantar ke pemakaman berjumlah luar biasa besar dengan iringan lautan manusia dan mobil yang panjangnya hampir mencapai satu kilometer. Kami tidak tau siapa dia. Yang pasti dia bukan artis, dia bukan selebriti dan bukan public figure. Tapi jumlah orang yang melayat bisa kami pastikan jauh lebih banyak dari acara pemakaman pejabat sekalipun."  

Selesai acara pemakaman, satu persatu semua tamu pamitan. Mama meminta kami sekeluarga untuk berkumpul dan bermeditasi bersama di samping makam. 

"Yoyo!" Terdengar suara memanggil.

Saya menengok ke arah suara itu. Seorang perempuan dan seorang bule dengan tergopoh-gopoh menghampiri.

"Cindy!!! Kamu datang juga?" Hampir saja saya tidak mempercayai apa yang saya lihat.

Cindy dan Mark setengah berlari menuju ke tempat keluarga kami berkumpul. Cindy langsung memeluk saya dengan erat. Kami berpelukan lama sekali tanpa terlontar sepatah kata.

Akhirnya pelukan terlepas dan kini Mark yang memeluk saya dengan rasa keprihatinan atas kematian Papa.

"Maaf aku datang terlambat ya, Yo. Kami dari airport langsung ke rumah sakit tapi kalian sudah berangkat akhirnya kami langsung ke sini," kata Cindy.

"Iya nggak apa-apa, Cin. Bahagia sekali ngeliat kamu datang. Aku nggak menyangka sama sekali," kata saya terharu bukan main.

Sehabis berdoa di samping kuburan Papa, Cindy kembali memeluk saya. Hampir saja pertahanan saya ambrol. Dengan sekuat tenaga akhirnya saya bisa mencegah airmata keluar dari kelopak mata. 

Masih sambil memeluk erat, Cindy bicara lagi, "Kamu tau nggak, Yo. Belakangan ini aku sering memimpikan papa kamu."

"Oh, ya? Bagaimana isi mimpinya?" tanya saya antusias.

"Nggak jelas juga. Kadang Papa kamu cuma muncul dan tersenyum lalu menghilang."

"Oh, ya? Seperti apa lagi mimpinya?" tanya saya penasaran.

"Pernah juga aku mimpi lagi lari pagi di taman bersama Mark. Tiba-tiba ada Papa kamu duduk di bangku taman lalu melambaikan tangan sambil tersenyum."

"Kamu nggak ketakutan, kan?" tanya saya kuatir Papa menakuti Cindy.

"Sama sekali nggak takut. Justru malah bikin aku kangen sama kamu dan Papa."

"Baguslah kalau begitu," kata saya lega.

"Tapi karena mimpi itu datang terus-menerus, akhirnya aku berkesimpulan pasti ada sesuatu yang nggak beres."

Kali ini saya tidak menyahut dan hanya memeluk teman saya ini lebih erat.

"Jadi aku memutuskan untuk ke Jakarta sekalian nengokin kamu."

"Kok, kamu tau Papa dirawat di Rumah Sakit Cipto?" tanya saya penasaran.

"Aku telpon kamu tapi nggak pernah diangkat. Jadi aku telpon Mama. Dia yang kasih tau kalo Papa kamu sakit."

Ah... Papa memang luar biasa. Saya pernah menanyakan, kenapa Papa mendoakan Cindy tapi Cindynya tidak datang. Sementara orang-orang lain yang Papa doakan banyak sekali yang berkunjung. Dan ternyata saya salah. Cindy datang. Saya salah sepenuhnya.

Papa betul! Kalau kita mendoakan seseorang dengan tulus tanpa pamrih, kita akan terhubung dengan orang itu. Ketika hubungan sudah semakin erat, maka tempat, jarak dan waktu sudah tidak memainkan peran lagi. Dan omongan Papa lagi-lagi terbukti kebenarannya.

Peristiwa ini memberi saya pelajaran yang sangat berharga. Papa dengan gamblang telah mengajarkan pada kami sekeluarga bahwa jangan pernah meremehkan kekuatan doa.

I love you, Papaku.

Bersambung...

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun