Mohon tunggu...
Yosua Beza
Yosua Beza Mohon Tunggu... UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL "VETERAN" JAKARTA

Mahasiswa tingkat akhir Ilmu Komunikasi UPN "VETERAN" JAKARTA, hobi berselancar tapi dalam dunia digital

Selanjutnya

Tutup

Nature

Adaro Energy: Ketika 'Green Initiative' Berbenturan Dengan Realitas Batubara

3 Oktober 2025   10:12 Diperbarui: 3 Oktober 2025   10:11 97
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Mengapa klaim transformasi hijau perusahaan batubara terbesar Indonesia ini menuai kritik keras dari aktivis lingkungan?

Bayangkan sebuah perusahaan yang dengan bangga mengklaim sedang bertransformasi menjadi "lebih hijau", namun di saat bersamaan terus membangun pembangkit listrik batubara baru. Itulah yang terjadi dengan PT Adaro Energy Indonesia Tbk (ADRO), salah satu produsen batubara terbesar di Indonesia yang kini tengah berada di pusaran kontroversi greenwashing.

Narasi Hijau di Tengah Ekspansi Batubara

Sejak 2021, Adaro gencar mempromosikan "Adaro Green Initiative" sebagai pilar bisnis kesembilan mereka. Melalui kampanye ini, perusahaan mengklaim akan mengembangkan energi terbarukan seperti solar panel, biomassa, dan PLTA. Bahkan, mereka mengusung slogan "Transforming Into A Bigger And Greener Adaro" yang terdengar sangat meyakinkan.

Namun, di balik narasi hijau yang gemerlap ini, realitas di lapangan bercerita lain. Adaro justru melanjutkan ekspansi tambang batubara di Kalimantan dan membangun PLTU captive di Kalimantan Utara untuk mendukung smelter aluminium mereka. Ironisnya, aluminium yang diproduksi dengan energi batubara ini diberi label "green aluminium" dengan alasan akan beralih ke PLTA pada 2030. " Ini seperti mengecat tembok rumah dengan warna hijau, lalu mengklaim rumahnya ramah lingkungan," komentar seorang aktivis lingkungan yang meminta tidak disebutkan namanya.

Jejak Kelam di Balik Klaim Hijau

Kritik terhadap Adaro bukan tanpa alasan. WALHI Kalimantan Selatan mencatat berbagai dampak lingkungan yang ditimbulkan operasi perusahaan ini, mulai dari penggusuran warga hingga dugaan kontribusi terhadap banjir besar Kalsel 2021 yang menewaskan 24 orang dan mengungsikan lebih dari 113.000 warga.

Desa Wonorejo, misalnya, kini telah hilang dari peta karena berubah menjadi kolam pengendapan batubara. Belum lagi laporan berulang tentang pencemaran sungai, seperti yang terjadi di Sungai Balangan di Paringin yang menyebabkan ikan keramba mati massal.

Data dari berbagai LSM menunjukkan bahwa konflik pertanahan terus bermunculan di area operasi Adaro, termasuk di Tabalong dan berbagai wilayah lain di Kalimantan Selatan. Ini menunjukkan adanya kesenjangan antara klaim tata kelola lingkungan yang "baik" dengan pengalaman riil masyarakat terdampak.

Reaksi Keras dari Berbagai Pihak

Praktik komunikasi yang dinilai menyesatkan ini tidak luput dari sorotan berbagai pihak. Dalam RUPS 2023, aktivis bahkan nekat menyusup untuk menentang pembangunan PLTU baru dengan membentangkan banner "STOP PEMBANGUNAN PLTU BARU".

Di level internasional, respons juga tidak kalah keras. Lebih dari 100 bank dan investor dengan aset yang dikelola lebih dari USD 50 miliar telah mengumumkan divestasi dari pertambangan batubara. Bank-bank ternama seperti BNP Paribas, OCBC, DBS, dan Standard Chartered memutuskan hubungan dengan Adaro karena bisnis batubara tidak sejalan dengan komitmen keberlanjutan mereka.

Bahkan, Adaro masuk dalam daftar "Dirty 30" - daftar perusahaan yang dianggap paling bermasalah dari segi lingkungan. Ekō, sebuah lembaga yang mendorong praktik berkelanjutan, berhasil mengumpulkan lebih dari 54 ribu tandatangan dalam petisi untuk mendesak bank internasional menghentikan pendanaan ke Adaro Energy.

Mengapa Ini Disebut Greenwashing?

Greenwashing adalah praktik perusahaan yang menyajikan citra ramah lingkungan secara berlebihan atau menyesatkan dibandingkan tindakan nyata mereka. Dalam kasus Adaro, beberapa indikator greenwashing terlihat jelas:

  • Pertama, inkonsistensi antara klaim dan tindakan. Perusahaan mengklaim transformasi hijau namun terus memperluas operasi batubara dan membangun PLTU baru.
  • Kedua, penggunaan label yang menyesatkan. Menyebut aluminium yang diproduksi dengan energi batubara sebagai "green aluminium" jelas misleading, meskipun ada rencana beralih ke PLTA di masa depan.
  • Ketiga, kurangnya transparansi. Informasi detail tentang dampak lingkungan, intensitas emisi per produk, dan timeline transisi yang jelas masih minim dipublikasikan.

Dampak pada Kredibilitas dan Bisnis

Strategi komunikasi yang bermasalah ini mulai berdampak pada reputasi dan bisnis Adaro. Hilangnya kepercayaan investor internasional, resistensi masyarakat lokal, dan kritik berkelanjutan dari aktivis lingkungan menciptakan risiko bisnis yang tidak kecil.

Presiden Direktur Adaro Minerals, Christian Ariano Rachmat, bahkan harus membela diri dengan pernyataan: "kita bukan greenwashing, jelas-jelas kita bilang kok aluminium ini akan dibangun pembangkitnya dari batu bara." Namun justru pernyataan ini mengkonfirmasi praktik greenwashing karena tetap menggunakan label "green" untuk produk yang diproduksi dengan energi fosil.

Jalan Keluar: Transparansi dan Konsistensi

Untuk menghindari tuduhan greenwashing, Adaro perlu melakukan beberapa langkah fundamental:

  • Transparansi komprehensif dengan mempublikasikan data material seperti intensitas emisi per produk, dampak lingkungan riil, dan timeline transisi yang realistis. Semua klaim harus didukung data yang dapat diverifikasi.
  • Konsistensi antara komunikasi dan tindakan. Jika mengklaim transformasi hijau, ekspansi batubara harus dihentikan dan investasi dialihkan secara signifikan ke energi terbarukan.
  • Pelibatan stakeholder yang bermakna. Dialog dengan masyarakat terdampak, aktivis, dan LSM harus dilakukan secara konsisten, bukan hanya ketika terjadi konflik.
  • Verifikasi independen dari pihak ketiga untuk semua klaim keberlanjutan, termasuk roadmap transisi energi dan dampak lingkungan.

Pelajaran untuk Korporasi Lain

Kasus Adaro memberikan pelajaran penting bagi perusahaan lain, terutama yang beroperasi di sektor ekstraktif. Di era ESG (Environmental, Social, Governance) yang semakin ketat, komunikasi hijau tanpa tindakan nyata tidak hanya merusak reputasi, tetapi juga mengancam keberlanjutan bisnis.

Pasar keuangan global kini semakin peka terhadap praktik greenwashing. Investor dan lembaga keuangan menerapkan standar yang lebih ketat dalam menilai komitmen keberlanjutan perusahaan. Mereka tidak lagi hanya melihat janji, tetapi track record dan konsistensi implementasi.

Penutup: Saatnya Aksi Nyata, Bukan Sekadar Narasi

Transisi energi adalah kebutuhan mendesak yang tidak bisa ditunda-tunda lagi. Namun, transisi yang kredibel memerlukan komitmen nyata, bukan sekadar kampanye marketing berlabel hijau.

Adaro, sebagai salah satu perusahaan energi terbesar di Indonesia, memiliki tanggung jawab besar untuk menunjukkan kepemimpinan dalam transisi energi. Sayangnya, strategi komunikasi mereka saat ini justru memperlemah upaya transisi energi secara keseluruhan dengan menciptakan kebingungan dan skeptisisme publik.

Masyarakat, investor, dan regulator perlu terus mengawasi dan menuntut transparansi dari korporasi. Hanya dengan tekanan yang konsisten, perusahaan akan terdorong untuk melakukan transformasi yang sesungguhnya, bukan sekadar transformasi narasi.

Pada akhirnya, lingkungan tidak mengenal greenwashing. Emisi karbon tetaplah emisi karbon, tidak peduli bagaimana perusahaan mengemas komunikasinya. Saatnya untuk aksi nyata, bukan lagi sekadar janji hijau di atas kertas.

Artikel ini ditulis berdasarkan riset mendalam terhadap laporan media, pernyataan perusahaan, dan data dari berbagai LSM terkait praktik komunikasi lingkungan PT Adaro Energy Indonesia Tbk.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun