Konsep "Living Law" yang diperkenalkan oleh Eugen Ehrlich menekankan bahwa hukum berkembang dari masyarakat, bukan hanya dari undang-undang negara. Menurut Ehrlich, norma hukum muncul dari kebiasaan dan hubungan sosial. Di Indonesia, penerapan Living Law terlihat dalam pengakuan hukum adat dan hukum Islam yang beroperasi berdampingan dengan hukum positif, seperti dalam penyelesaian sengketa tanah dan pernikahan. Contoh implementasi hukum adat di Sumatera Barat dan Papua menunjukkan kekuatan hukum yang berasal dari nilai-nilai lokal. Di sisi lain, utilitarianisme, yang dipopulerkan oleh Jeremy Bentham dan John Stuart Mill, menekankan bahwa tujuan hukum adalah mencapai kebahagiaan terbesar bagi masyarakat, meskipun dapat menimbulkan dilema etis ketika kebijakan mayoritas mengorbankan hak-hak minoritas. Oleh karena itu, penting untuk menemukan keseimbangan antara fleksibilitas hukum yang mengikuti perkembangan sosial dan evaluasi dampak hukum terhadap kesejahteraan masyarakat.
PPT 7 PEMIKIRAN MILE DURKHEIM DAN IBNU KHALDUN
Pemikiran mile Durkheim dan Ibnu Khaldun memberikan wawasan penting tentang dinamika masyarakat. Durkheim, pendiri sosiologi modern, memperkenalkan konsep fakta sosial, solidaritas sosial, dan anomie, yang menjelaskan bagaimana norma dan nilai membentuk perilaku individu. Ia menekankan peran pendidikan dan agama dalam menciptakan kohesi sosial. Di sisi lain, Ibnu Khaldun, sejarawan dan filsuf Muslim, mengembangkan teori asabiyyah, yang menggambarkan solidaritas kelompok sebagai dasar peradaban. Ia berargumen bahwa perkembangan peradaban bergantung pada ikatan sosial yang kuat dan kerja sama antar kelompok. Meskipun berasal dari konteks berbeda, keduanya menyoroti pentingnya struktur sosial dan solidaritas. Perbedaan utama terletak pada pendekatan: Durkheim lebih positivistik dan empiris, sedangkan Ibnu Khaldun bersifat historis-filosofis dan deskriptif. Keduanya memberikan kontribusi besar dalam pengembangan teori sosiologi yang masih relevan hingga kini.
PPT 8 PEMIKIRAN MAX WEBER DAN H.L.A. HART
Pemikiran Max Weber dan H.L.A. Hart memberikan kontribusi signifikan dalam teori hukum modern dengan pendekatan yang berbeda. Max Weber, seorang sosiolog, melihat hukum dalam konteks struktur sosial dan otoritas kekuasaan. Ia menekankan rasionalisasi hukum yang formal dan impersonal, serta keterkaitannya dengan legitimasi politik, membedakan tiga tipe otoritas: tradisional, karismatik, dan legal rasional. Sebaliknya, H.L.A. Hart, seorang filsuf hukum, mengkritik pandangan John Austin yang menyederhanakan hukum sebagai perintah dengan sanksi. Dalam "The Concept of Law," Hart membedakan antara aturan primer dan sekunder serta memperkenalkan konsep internal point of view, yang menekankan legitimasi aturan hukum. Keduanya saling melengkapi, Weber memberikan perspektif sosiologis, sementara Hart menawarkan kerangka analitis. Ini penting untuk merancang sistem hukum yang sah secara formal dan responsif terhadap realitas sosial, terutama dalam konteks pembangunan hukum nasional.
PPT 9 EFEKTIVITAS HUKUM
Efektivitas hukum adalah faktor kunci dalam menciptakan ketertiban dan keadilan dalam masyarakat. Hal ini tidak hanya tergantung pada adanya aturan tertulis, tetapi juga pada pelaksanaan dan kepatuhan terhadap aturan tersebut. Para ahli seperti Soerjono Soekanto, Ahmad Ali, dan Anthony Allott menyatakan bahwa efektivitas hukum melibatkan adaptasi hukum terhadap masyarakat, kesesuaian dengan nilai filosofis, dan tingkat kepatuhan terhadap prinsip hukum. Faktor-faktor yang memengaruhi efektivitas ini meliputi kualitas hukum, integritas aparat penegak hukum, fasilitas pendukung, dan kesadaran hukum masyarakat. Kepatuhan masyarakat menjadi indikator keberhasilan hukum dalam mengatur perilaku sosial. Dengan demikian, hukum yang baik harus disertai penegakan yang konsisten, dukungan fasilitas yang memadai, dan partisipasi masyarakat agar tujuan keadilan dan kepastian hukum dapat tercapai dengan optimal.
PPT 10 HUKUM DAN KONTROL SOSIAL
"Hukum dan Kontrol Sosial" membahas peran hukum sebagai alat kontrol sosial dalam masyarakat. Kontrol sosial merujuk pada mekanisme yang digunakan untuk menjaga ketertiban dan mengatur perilaku individu agar sesuai dengan norma dan nilai yang berlaku. Hukum berfungsi sebagai bentuk kontrol sosial formal yang memiliki sanksi tegas dan diakui secara institusional. Dalam masyarakat modern yang kompleks, hukum berperan penting dalam menjaga stabilitas sosial, menyelesaikan konflik, dan mengatur hubungan antarwarga negara serta antara warga dengan negara. Selain hukum, terdapat pula kontrol sosial informal yang berasal dari keluarga, agama, dan adat istiadat, yang meskipun tidak memiliki kekuatan hukum, tetap efektif dalam membentuk perilaku sosial. Dengan demikian, hukum sebagai kontrol sosial menjadi instrumen utama dalam menciptakan keteraturan sosial, menjamin keadilan, dan melindungi hak-hak individu dalam kehidupan bermasyarakat.
PPT 11 LEGAL PLURASISME
Legal pluralism atau pluralisme hukum adalah pengakuan terhadap berbagai sistem hukum yang beroperasi bersamaan dalam satu masyarakat. Di Indonesia, ini mencakup hukum negara, hukum adat, dan hukum agama yang berinteraksi. Pluralisme hukum memungkinkan sistem hukum yang lebih inklusif dan responsif terhadap nilai-nilai lokal, serta menawarkan alternatif penyelesaian konflik. Namun, tantangan yang dihadapi termasuk konflik norma, ketidakpastian hukum, diskriminasi terhadap kelompok adat, dan kesulitan dalam penerapan hukum yang tepat. Kritik terhadap pluralisme mencakup kurangnya batasan istilah dan pengabaian keadilan sosial. Untuk menjadikannya efektif, diperlukan harmonisasi antar sistem hukum, peningkatan kapasitas penegak hukum, dan dialog berkelanjutan agar keadilan substantif dapat terjamin bagi seluruh lapisan masyarakat.