Mohon tunggu...
Yose Revela
Yose Revela Mohon Tunggu... Freelance

YNWA. Wonosobo, 14 Juli 1992 yoserevela@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Mendaki Gunung, Beda Masa, Beda Cerita

11 Juni 2025   08:07 Diperbarui: 11 Juni 2025   08:07 131
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Di era kekinian, mendaki gunung telah berkembang menjadi satu tren gaya hidup yang menarik sekaligus unik. Maklum, aktivitas satu ini memadukan olahraga, relaksasi pikiran, uji nyali, dan keindahan alam, dengan beragam cerita sebagai bonusnya.

Pada masa lalu, mendaki gunung tergolong aktivitas minat khusus. Gunung yang dituju pun punya kriteria spesifik. Dari trek yang panjang, ketinggian sampai tingkat kesulitan, semuanya benar-benar diperhatikan secermat mungkin.

Otomatis, perlu persiapan khusus bagi siapapun yang ingin melakukan, karena yang akan dihadapi adalah kondisi tak terduga khas alam terbuka. Jika kondisi fisik tak cukup siap, risiko kelelahan, cedera, bahkan kematian sudah mengintai.

Aspek kesiapan fisik ini juga berhubungan dengan kesiapan mental, karena dapat membantu seseorang mengenali karakteristik tempat pendakian, dan "menemukan" diri sendiri.

Dari sinilah, seseorang bisa menemukan, apakah ia cukup kuat untuk mendaki "tek-tok", atau justru merasa lebih cocok dengan mode pendakian santai, lengkap dengan aktivitas kemping dan api unggun. Tidak ada salah atau benar di sini, karena semuanya ditentukan oleh kemampuan dan karakteristik tiap individu, yang punya sisi unik masing-masing.

Karena itulah, mendaki gunung di era sebelum media sosial tidak terkesan heboh, apalagi sampai menciptakan suasana gaduh di ruang publik. Kalaupun ada dokumentasi, jumlahnya masih dalam batas wajar, seperlunya saja.

Situasi dan sudut pandang ini pelan-pelan berubah di era kekinian, khususnya sejak film "5 Cm" (2012) sukses besar di bioskop nasional. Film yang bercerita tentang pendakian ke Gunung Semeru ini menjadi titik awal pergeseran, yang terlihat semakin masif di era media sosial.

Alhasil, aktivitas yang dulunya dipandang sebagai "aktivitas minat khusus", pelan-pelan bergeser menjadi gaya hidup, yang menyangkut kebutuhan aktualisasi diri.

Secara kuantitas, jumlah pendaki gunung di Indonesia memang cukup banyak bertambah. Gunung yang didaki pun semakin banyak, karena merambah juga ke gunung-gunung dan bukit-bukit yang dulu dianggap kurang populer.

Pergeseran tren ini lalu menciptakan sebuah potensi pariwisata yang cukup menarik. Selain karena keindahan alam yang dihadirkan, tren gaya hidup ini juga cukup konsisten viral di media sosial, karena berhubungan juga dengan kebutuhan aktualisasi diri seseorang, khususnya bagi mereka yang melakukan karena terpengaruh tren di media sosial.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun