Di era kekinian, sepak bola menjadi satu olahraga yang semakin kompleks. Adanya perkembangan tren taktik turut mengubah cara pandang, salah satunya soal peran kiper, yang makin kesini semakin kompleks.
Sebelumnya, kiper hanya identik dengan peran sebagai tembok terakhir di bawah mistar. Tapi, seiring mekarnya sepak bola modern, peran satu ini menjadi semakin kompleks.
Maklum, selain dituntut menjaga gawang dari kebobolan, seorang kiper dituntut turut aktif membantu tim membangun serangan dari bawah. Kalau meminjam istilah Johan Cruyff, kiper adalah "penyerang pertama", karena menjadi titik awal dibangunnya serangan tim.
Dalam perjalanannya, kiper juga diharapkan mampu berkontribusi lewat akurasi umpan yang diberikan. Kalau bisa membuat assist atau mencetak gol saat dibutuhkan, itu akan sangat bagus.
Dengan kompleksitas peran seperti itu, bisa dibayangkan, seberapa rumit dan detail tugas kiper. Di sisi lain, perkembangan tren ini juga makin menyetarakan posisi kiper dengan bek, gelandang, atau penyerang.
Terbukti, aspek umum posisi nonkiper, seperti akurasi operan, gol dan assist mulai masuk poin penilaian performa kiper secara umum. Tak heran, "kiper bertipikal modern" pun berkembang menjadi satu predikat umum, sekaligus gambaran evolusi tren taktik sepak bola modern.
Tapi, selain menghadirkan modernitas, keberadaan kiper bertipikal "modern" ini turut menghadirkan satu kerancuan. Semakin banyak kiper yang nyaman memainkan bola di kakinya, tapi tidak semua punya refleks dan penempatan posisi yang oke. Akibatnya, seorang kiper kadang punya kelebihan dan kekurangan yang sama-sama mencolok.
Di Liga Inggris misalnya, kerancuan ini terlihat, misalnya dari keberadaan kiper-kiper "modern", seperti Ederson (Manchester City), Alisson (Liverpool), dan Andre Onana (Manchester United). Ketiganya sama-sama nyaman dengan bola di kakinya, bahkan ada juga yang sudah membuat assist dan gol.
Tapi, tidak semuanya punya refleks khas kiper klasik. Ederson cukup banyak terbantu lini belakang dan sistem "perfeksionis" ala Pep Guardiola. Onana cenderung hanya konsisten bermain bagus di laga-laga besar, selebihnya, ia kerap kebobolan karena mati langkah akibat salah posisi.
Praktis, dari ketiganya, hanya Alisson yang bisa dibilang komplet, dengan aksi istimewanya, saat Liverpool bertemu PSG sebagai contoh segar. Seperti diketahui, dalam laga leg pertama perdelapan final Liga Champions, kiper asal Brasil itu tampil luar biasa.