Berangkat dari kasus Kolombia, yang kebetulan cukup mirip dengan yang terjadi di Indonesia, situasi serupa juga bisa saja dialami Indonesia. Boleh dibilang, kasus yang dialami Kolombia ini adalah satu amunisi untuk pertimbangan, meski sifatnya retrospektif.
Dari segi penyebab, meski ada pelanggaran soal komitmen, faktor diluar kendali federasi jadi faktor meringankan, karena termasuk kategori "force majeur", seperti halnya perang atau bencana alam.
Dari pengalaman yang sudah terjadi, FIFA baru menjatuhkan sanksi berat, jika ada intervensi langsung ke federasi, atau ada kesalahan serius yang dilakukan federasi. Di Indonesia, ini pernah terjadi pada tahun 2015, kala pemerintah membekukan PSSI.
Jadi, masih ada kesempatan untuk Indonesia lolos dari sanksi berat FIFA. Apalagi, Presiden Jokowi juga mendorong PSSI melakukan pembenahan di sepak bola nasional dan melobi FIFA.
Tentunya, semua hal yang bisa dilakukan akan coba diupayakan semaksimal mungkin, demi mencegah kerugian lebih besar. Dengan dukungan pemerintah dan kedekatan Erick Thohir (Ketum PSSI) dengan petinggi FIFA, harapan itu masih ada.
Tapi, kalaupun bisa lolos dari sanksi berat FIFA, seharusnya ini bisa jadi momentum perbaikan atau transformasi sepak bola nasional. Selebihnya, tinggal bagaimana ini bisa disadari atau tidak.
Kalau disadari, perbaikan dan kemajuan bisa menjadi satu realita, tapi kalau tidak, rasanya sepak bola nasional hanya akan berkutat pada berbagai kerumitan, sebelum akhirnya semakin ke belakang.