Kalau pelaku "bullying" terlalu bernafsu, cepat atau lambat mereka akan tertangkap basah akibat tingkah mereka sendiri. Alhasil, mereka akan menganggap ini sebagai urusan "menang atau kalah", "benar atau salah", dan sejenisnya.
Soal frekuensinya, ada sebuah paradoks di sini, karena pelaku "bullying" yang biasa melakukan serangan berkali-kali, bisa saja runtuh hanya dalam sekali balas.
Disadari atau tidak, meski menang jumlah dan kekuatan fisik secara kasat mata, mereka sebenarnya agak ringkih secara mental. Bahkan, ada yang langsung "playing victim" saat tertangkap basah.
Jadi, kalau korban "bully" sampai bisa menghadirkan "pembalasan sistematis", seperti yang dihadirkan dalam Drakor "The Glory", berarti level "bullying" yang didapat sudah terlalu parah.
Di luar perkara "aksi dan reaksi", ada satu masalah lain, yang sebenarnya tidak kalah pelik, yakni trauma pada korban. Meski masalahnya sudah lama berlalu, memori rasa sakitnya masih tetap ada. Inilah salah satu gambaran "neraka" yang digambarkan di Drakor yang dibintangi Song Hye Kyo.
Contoh paling sederhananya bisa dilihat, misalnya dari sikap si korban terhadap tempat kejadian. Kalau itu terjadi di sekolah, bukan kejutan kalau setelah lulus si korban tak pernah lagi menginjakkan kaki di sana.
Meski sebenarnya masih ada banyak memori positif, keberadaan memori traumatis pada periode yang sama, menjadi satu paket yang mau tak mau harus diterima.
Butuh waktu tidak sebentar untuk berani mengungkapkan, dan butuh waktu lebih lama lagi untuk merelakan. Prosesnya beragam di setiap individu, dan tidak bisa disamaratakan. Ini bukan kesalahan korban, tapi merekalah yang menanggung beban penderitaan paling besar.Â
Terlepas dari berbagai kerumitan di sekelilingnya, "bullying" memang tidak untuk dinormalisasi, dan harus disadari efek negatifnya. Hal buruk yang diterima secara rutin bisa berdampak buruk juga dalam jangka pendek maupun panjang  begitupun sebaliknya.