Mohon tunggu...
Yose Revela
Yose Revela Mohon Tunggu... Freelancer - Freelance

YNWA. Wonosobo, 14 Juli 1992 yoserevela@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Bola Artikel Utama

PSG dan Sebuah Paradoks

9 Maret 2023   22:56 Diperbarui: 12 Maret 2023   07:33 1086
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pemain PSG, Lionel Messi (kanan) dan pemain Bayern Munchen, Joshua Kimmich (kiri) berebut bola kala PSG menghadapi Bayern Munchen di leg pertama Liga Champions, Rabu (15/2/2023). Foto: AFP/ANNE-CHRISTINE POUJOULAT via kompas.com

Bicara soal kiprah PSG dalam sedekade terakhir, ada satu paradoks, yang jadi warna khas mereka. Mereka bagai tanpa lawan di dalam negeri, tapi sering mati langkah di tingkat Eropa.

Sejak dimiliki Nasser Al Khelaifi (Qatar)Les Parisiens sebenarnya cukup rajin mendatangkan pemain bintang. Mulai dari Zlatan Ibrahimovic sampai trio Neymar-Messi-Mbappe.

Nama Neymar bahkan masih tercatat sebagai pemegang rekor transfer termahal dunia, saat diboyong dari Barcelona seharga 222 juta euro tahun 2017. Sebuah transfer yang membuat standar harga transfer pemain berubah total.

Di area teknik, nama-nama top seperti Carlo Ancelotti, Thomas Tuchel dan Mauricio Pochettino juga pernah mengisi pos pelatih. Bagaimana hasilnya?

Di dalam negeri, semua trofi yang bisa diraih sudah diraih, mulai dari Piala Liga, Ligue 1, Coupe de France, sampai Piala Super. Dengan materi tim yang mentereng, membangun dominasi bukan perkara sulit.

Saking dominannya, klub ibukota Prancis ini sukses membuat kompetisi di Negeri Menara Eiffel cenderung monoton, seperti yang terjadi pada Bayern Munich di Bundesliga.

Hanya tim yang benar-benar spesial yang bisa mengalahkan. Itupun masih dengan catatan, segera setelah juara liga, sebagian skuad tim juara  akan digembosi.

Baca juga: A Win To Remember

Seperti pada saat memboyong Kylian Mbappe dari AS Monaco, tak lama setelah juara liga dan mencapai semifinal Liga Champions (2017) dan Luis Campos (direktur teknik Lille, juara Ligue 1 2020/2021).

Tapi, semua dominasi di dalam negeri ternyata masih tak ada artinya di level Eropa. Tim yang sebenarnya cukup kuat hanya mampu konsisten melewati fase grup.

Begitu menapak fase gugur, kubu Parc Des Princes seperti menanggung beban superberat. Ada tuntutan untuk menang begitu besar, yang justru menghancurkan tim.

Di sini, kenyamanan karena sudah dominan di dalam negeri terbukti melenakan, karena klub yang berdiri tahun 1970 ini terlanjur terbiasa jadi "kuda kabur" yang sejak awal sudah berlari jauh di pacuan juara Ligue 1, bukan tim yang menekan sebagai pengejar.

Makanya, ketika menghadapi fase gugur, mereka terlihat sangat berbeda. Sekalipun diperkuat Lionel Messi dan Kylian Mbappe yang moncer di Piala Dunia 2022, kegagalan di Eropa seperti enggan menjauh.

Memang, tim yang disebut sebagai salah satu tim paling royal di Eropa ini sempat mencapai final (2020) dan semifinal (2021). Sayang, hasilnya tetap nihil. PSG malah sering kena mental setiap kali bertemu tim kuat di fase gugur.

PSG, digdaya di Prancis, tapi loyo di Liga Champions (Goal.com)
PSG, digdaya di Prancis, tapi loyo di Liga Champions (Goal.com)

Paling gres, Lionel Messi dkk dipaksa angkat koper di babak perdelapan final, setelah kalah agregat 0-3 dari Bayern Munich, Kamis (9/3, dinihari WIB). Meski sebenarnya berani bermain terbuka, kemampuan jagoan Jerman itu dalam memberi pukulan telak di saat penting mampu jadi pembeda.

Soal taktik PSG sebenarnya juga sudah lebih baik dibanding musim lalu. Keputusan pelatih Christophe Galtier menempatkan Messi di posisi "nomor 10" sukses membuat sang juara Piala Dunia 2022 kembali bersinar. La Pulga mampu membangun trisula lini depan bersama Neymar dan Mbappe.

Tapi, ketika trio ini tidak dalam kondisi terbaik, rencana eks pelatih Lille itu terbukti kacau saat bertemu Bayern.

Di leg pertama, daya gedor tim tidak maksimal, karena Mbappe yang baru pulih dari cedera otot hanya bisa bermain sebentar. Di leg kedua, PSG kehilangan Neymar yang cedera engkel parah.

Dengan kondisi compang-camping melawan tim berpengalaman seperti The Bavarians, tidak kalah lebih dari 3 gol saja sudah lumayan. Sehebat apapun Leo dan Mbappe, mereka tetap kesulitan kalau tak didukung tim secara utuh.

Tentunya, kegagalan ini memperpanjang rasa penasaran PSG pada trofi Liga Champions. Wacana pergantian pelatih pun mengemuka, dengan Thomas Tuchel dan Jose Mourinho berada dalam radar.

Dengan fulus melimpah dari Al Khelaifi, bongkar pasang tim biasanya bukan perkara sulit. Masalahnya, dengan kinerja keuangan klub yang jeblok selama beberapa tahun terakhir, sanksi akibat pelanggaran Financial Fair Play sudah menunggu di depan mata.

Apa boleh buat, tim ambisius Prancis ini tampaknya akan bersiap melakukan restrukturisasi gaji besar-besaran. Tidak menutup kemungkinan, kontrak pemain bergaji fantastis seperti Sergio Ramos dan Messi tak diperpanjang, Begitu juga dengan Neymar, yang disebut-sebut akan dijual karena sudah mulai menurun.

Indikasi lain yang sudah terlihat adalah, Milan Skriniar sepakat bergabung secara gratis di musim panas, segera setelah kontrak bek tengah itu di Inter Milan selesai.

Kegagalan PSG di Liga Champions sebenarnya bukan hal baru, karena bisa dibilang rutin terjadi, tapi ancaman sanksi Financial Fair Play yang kali ini membayangi tidak main-main.

Maklum,  selain berpotensi kena denda, potensi dicoret dari kompetisi antarklub Eropa juga membayangi. Kalau ini sampai terjadi, mungkin akan jadi pukulan telak buat ambisi klub juara di Eropa.

Menariknya, situasi yang dialami PSG ini sekali lagi membuktikan, uang memang bisa mendatangkan pemain top, tapi bukan jaminan mutlak untuk sukses di kompetisi sekaliber Liga Champions.

Di luar gemerlapnya, Liga Champions adalah satu ajang yang unik, karena sering menempa sebuah klub yang ingin juara dengan beragam kesulitan.

Bagi klub yang mampu melalui tempaan kegagalan, ia akan terbentuk menjadi juara. Seperti Chelsea yang akhirnya meraih 2 trofi Liga Champions, setelah belasan tahun gagal, termasuk satu kekalahan di final.

Inilah fase yang sedang dijalani PSG, dengan situasi cukup pelik, sekaligus menentukan. Jika bisa dilalui, rasanya meraih trofi Si Kuping Besar tidak mustahil terjadi dalam waktu dekat. Jika tidak, penurunan sepertinya sudah dekat, karena dominasi nyaris tanpa lawan di dalam negeri telah mendekatkan tim pada titik jenuh.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun