Kini, dengan bermainnya Egy dan Witan di Liga 1, ada satu tantangan yang menanti: apakah mereka bisa main bagus atau tidak. Jika bisa, kesempatan bermain di luar negeri (khususnya di Asia) seharusnya masih terbuka.
Menariknya, kisah dua pemain yang diageni Dusan Bogdanovic (Serbia) ini menjadi satu contoh aktual, yang mempertegas carut-marut di sepak bola nasional.
Mereka adalah hasil dari tidak adanya sistem pembinaan pemain muda yang baku dan terpadu. Ada talenta, tapi kurang diarahkan di awal, karena tak ada sistem untuk itu, seperti yang sudah banyak dialami pemain lain sebelumnya.Â
Kalaupun ada program, sifatnya jangka pendek dan kurang efektif, seperti SAD Uruguay dan Garuda Select di era modern.
Jelas, ini masih jadi PR yang belum kunjung tuntas buat PSSI, dan pihak-pihak terkait. Harus ada perbaikan serius, yang benar-benar memperbaiki kekurangan saat ini.
Kalau tak ada perbaikan serius, jangan kaget kalau kelak kita masih akan melihat, pemain Indonesia yang main di kompetisi kasta tertinggi Eropa hanya bersinar saat jadi "magnet penarik followers" buat akun media sosial klub ketimbang bersinar di lapangan hijau, karena untuk itulah mereka didatangkan.
Pahit, tapi begitulah dinamika sepak bola era industri: cuan adalah koentji. Tidak ada yang layak dibanggakan, apalagi sampai berlebihan, karena itu terbukti percuma di banyak kesempatan.