Di Indonesia, khususnya di era modern, jalan kaki menjadi satu hal yang agak sulit dilakukan. Penyebabnya bahkan sudah muncul sejak dalam pikiran.
Disebut demikian, karena jalan kaki lekat dengan persepsi "tidak aman". Persepsi ini memang lekat dengan sisi keras jalanan, di mana pejalan kaki sering jadi kelompok paling lemah dalam ekosistem jalanan.
Disebut demikian, karena hak-hak pejalan kaki sering dirampas dengan enaknya. Trotoar yang seharusnya diakses pejalan kaki kadang beralih fungsi jadi tempat parkir motor atau lapak warung kaki lima. Kadang, trotoar juga jadi jalur alternatif motor saat macet total.
Apa boleh buat, pejalan kaki sering terpaksa berjalan di jalur aspal, dengan risiko terserempet kendaraan bermotor, karena tidak ada pilihan lain. Andai terjadi apa-apa, mereka rentan disalahkan karena tidak mengakses trotoar.
Belum lagi kalau ada pelaku tindakan kriminal, seperti jambret, yang bisa saja menyasar pejalan kaki. Posisinya semakin rentan. Jadi, bukan kejutan kalau orang enggan berjalan kaki, karena mereka rawan jadi sasaran empuk.
Itu baru trotoar dalam kondisi bagus, belum termasuk trotoar yang rusak atau berlubang.
Niat awalnya bagus, karena ingin sehat, tapi situasi dan kondisinya kurang mendukung. Daripada kenapa-kenapa, lebih baik keluar biaya lebih tapi tetap selamat.
Persepsi lain yang muncul soal jalan kaki berkaitan dengan gengsi, tapi saya tidak akan membahas ini, karena sifatnya personal. Beda orang bisa beda preferensi.
Itu baru soal persepsi, yang memang biasa terjadi di jalanan. Belum termasuk soal aksesibilitas fasilitas pejalan kaki, yang masih kurang ideal.