Apesnya, jika si pemain pulang dalam keadaan cedera, mereka sudah pasti tak bisa ikut sesi latihan normal, apalagi bermain. Seperti pada kasus Marselino Ferdinan, yang harus beristirahat selama kurang lebih dua bulan, karena mengalami cedera otot di laga Piala AFF U-19 2022 versus Thailand.
Daftar cedera ini bisa saja bertambah, karena di laga berikutnya melawan Filipina, ada beberapa pemain yang mengalami cedera otot, akibat harus bermain tiap dua hari. Seperti pada periode "Boxing Day" di Liga Inggris yang terkenal supersibuk. Jadi, klub tak bisa sepenuhnya disalahkan.
Inilah satu masalah, yang jadi penyebab regenerasi pemain muda Timnas Indonesia agak tersendat, terutama di level senior. Minimnya kesempatan bermain di klub akan membuat para pemain ini kesulitan saat naik ke level usia senior.
Makanya, tak banyak alumni Timnas U-19 atau U-16 yang bisa menembus Timnas senior. Poin inilah yang membuat seorang Thomas Doll mengalami "culture shock" dengan sepak bola nasional, dan tanpa ragu mengkritik sistem pelatihan jangka panjang ala Timnas U-19.
Kekagetan eks pelatih Hamburg SV ini tentu saja bisa dimengerti. Maklum, di negara asalnya, justru klub yang lebih dipercaya sebagai tempat latihan pemain Timnas sejak level usia muda.
Dari sanalah regenerasi pemain bisa berjalan, karena klub kontestan kompetisi Bundesliga rutin menampilkan pemain muda potensial tiap tahun. Sistem pembinaan usia muda yang sinkron dengan federasi juga membuat klub bukan hanya jadi "pemasok pemain" buat federasi, tapi juga menjadi "mitra" dalam mengembangkan talenta pemain.
Inilah satu alasan, kenapa Timnas Jerman (dan negara-negara Eropa pada umumnya) jarang sekali melakukan program pemusatan latihan jangka panjang. Kalaupun ada, itu hanya dilakukan jelang kick off turnamen besar seperti Piala Dunia atau Piala Eropa, atau setelah musim kompetisi antarklub usai.
Memang, agak kurang adil membandingkan Liga 1 dengan Bundesliga Jerman, yang notabene merupakan salah satu dari lima liga top Eropa. Tapi, kritik pelatih pendahulu Juergen Klopp di Borussia Dortmund ini layak jadi masukan buat PSSI, untuk mulai serius memperbaiki kualitas kompetisi usia muda.
Terlepas dari Piala Dunia U-20 2023 yang merupakan "kasus khusus" di sepak bola nasional, perbaikan kualitas kompetisi, termasuk kompetisi usia muda di Indonesia memang perlu segera dilakukan.
Jika kompetisinya berkualitas, Timnas Indonesia tak perlu lagi repot-repot melakukan pemusatan latihan jangka panjang, karena semuanya sudah serba sinkron. Pelatih Timnas pun tak perlu kebingungan mencari pemain bagus, termasuk di pos penyerang yang selama ini jadi sorotan.
Selebihnya, tinggal apakah para pengurus PSSI dan pihak terkait mau membenahi atau tidak. Jika mau dan serius, kemajuan sudah pasti akan datang. Jika tidak, sepak bola nasional akan terus tertinggal, bahkan di kawasan ASEAN sekalipun.