Mohon tunggu...
Yose Revela
Yose Revela Mohon Tunggu... Freelancer - Freelance

YNWA. Wonosobo, 14 Juli 1992 yoserevela@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Beauty Pilihan

Berkenalan dengan Tembe, Kain Tenun Khas Suku Mbojo

18 November 2021   00:43 Diperbarui: 18 November 2021   00:55 903
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Tembe, kain tenun khas Suku Mbojo (Sumber gambar: Kompas.com)

Dalam hal seni kriya (kerajinan), Indonesia dikenal sangat kaya. Salah satu kekayaan itu adalah kain tenun. Ada begitu banyak daerah, yang punya kain tenun khas. Salah satunya adalah daerah Bima. Nusa Tenggara Barat, dengan kain sarungnya.

Dalam bahasa setempat, sarung dikenal dengan sebutan Tembe. Tembe merupakan satu produk seni kriya tradisional khas Suku Mbojo.

Secara historis, catatan sejarah tentang kain di Bima sudah ada sejak abad 16 masehi. Tome Pires, seorang penjelajah asal Portugal, sempat singgah di Pelabuhan Bima. Dalam catatan perjalanannya, ia mencatat aktivitas perdagangan di pelabuhan Bima.

Dimana, salah satu komoditinya adalah kain kasar, yang notabene merupakan bahan Tembe. Kain kasar dahulu banyak di produksi di pulau Sangeang Api atau Wera.

Sejak dahulu, masyarakat Suku Mbojo sudah mengenal teknik memproduksi kain menggunakan alat tenun. Mulai dari menanam kapas, memetiknya, mengolah hingga menjadi benang. 

Proses pembuatan benang tradisional dulunya sering dilakukan oleh kaum tua di desa. Seiring munculnya kemajuan teknologi, lewat kehadiran benang tekstil, proses pembuatan kain secara tradisional mulai ditinggalkan.

Pada masa lampau, masyarakat Bima belum mengenal istilah Katente (lipat sarung) atau Tembe (sarung). Mereka masih memakai Deko, semacam kain panjang. Tren kain sarung baru muncul pascaperjanjian Bongaya, antara Kerajaan Islam Gowa-Tallo dan VOC tahun 1667.

Salah satu dampak perjanjian ini memicu eksodus orang Bugis ke Bima sekitar tahun 1670-an. Kedatangan mereka memicu akulturasi budaya di Bima. Alhasil, berbagai kesenian, pakaian dan ritus-ritus bercorak Islam menjadi corak kebudayaan masyarakat Bima hingga kini. Sejak saat itu, masyarakat Bima, khususnya Suku Mbojo, mulai mengenal Katente, Tembe, Rimpu, dan motif pada kain.

Dalam kategori warna, kain Tembe punya sembilan warna, yakni kuning, hijau, biru, hitam, merah, coklat, ungu dan oranye. Proses pewarnaannya menggunakan pewarna natural dari getah pepohonan.

Untuk warna kuning bahan pewarnanya berasal dari pohon atau tanaman Cira (cudrania), Palawu (butterfly pea) dan kesumba (safflower). 

Selain menjadi bahan warna kuning, kesumba juga dipergunakan untuk bahan warna merah. Untuk warna hijau dibuat dari Cira, warna biru dibuat dari Dau (indigo), dan warna coklat berasal dari Supa (sappanwood), yang bisa juga digunakan untuk membuat warna merah, sedangkan warna ungu biasa dibuat dari Nonu alias Indian Mulberry (Hitchcock : 1991).

Dalam kultur Suku Mbojo, warna-warna sarung mempunyai makna simbolis tersendiri, dan menampilkan ciri identitas pemakainya. Misalnya, bangsawan hingga pejabat istana mempunyai masing-masing warna sarung khusus.

Tembe Me`e (Sarung Hitam) biasa dikenakan oleh masyarakat pegunungan atau disebut Donggo. Ini biasa ditemui di Desa Mbawa, yang masih melestarikan warna dengan ciri kultur lokalnya. Mereka menyebutnya Tembe Sengge yang berarti sarung hitam.

Sarung merah identik dengan masyarakat perkotaan dan bangsawan atau dikenal dengan nama Tembe Bako. Namun, ada perbedaan antara Tembe Bako bangsawan dan masyarakat perkotaan. Biasanya Tembe Bako yang dikenakan kaum bangsawan akan dihiasi motif dengan benang perak atau emas.

Untuk Tembe warna biru biasanya dikenakan oleh para "Ruma" atau pejabat istana berpangkat Jeneli (setingkat camat). Sarung dengan komposisi warna biru dan hitam biasa disebut Me`e Ova. Ini adalah simbol kesetiaan dan kejujuran pada kesultanan (Hitchcock : 1991).

Pada Tembe khas Bima, motif dengan bentuk manusia atau binatang tidak diperkenankan. Motif-motif Bima juga terpengaruh dari kebudayaan Sumatera, Makassar serta Jawa.

Motif-motif klasik Bima yang masih bertahan yaitu Kakando, Salungka, Kapa`a dan Renda. Kakando dan Salungka banyak dipengaruhi corak Sumatera sedangkan Kapa`a sedikit ada pengaruh Bugis, sehingga disebut juga Tembe Bugi.

Motif Renda awalnya adalah motif gaya Melayu yang berakulturasi dengan warna-warna dominan sarung khas Bima. Renda sendiri berasal dari kata bahasa Melayu Merenda atau Renda yang berarti sisi (Jasper dan Pringadie: 1912).

Pada era kekinian, banyak muncul motif Tembe kontemporer hasil kreasi para penenun, seperti kapempe, waji, nggoli dan lainnya. Jika ditotal, motif-motif Tembe, mulai dari yang klasik hingga kontemporer, diperkirakan berjumlah lebih 50 motif. Salah satu sentra tenun terkenal di Bima terletak di Kampung Cempaka Indah.

Referensi:

  • Hitchcock, M., "Indonesian Textiles" Periplus, (1991).
  • Jasper, J.E. and Mas Pringadie. 1912. De Inlandsche Kunstnijverheid in Nederlandsch Indi (Indigenous Crafts in the Netherlands East Indies). Vol II: De Weefkunst. 's-Gravenhage: Mouton.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Beauty Selengkapnya
Lihat Beauty Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun